Episode Kecil Mengenal Cipet

Episode Kecil Mengenal Cipet

Episode Kecil Mengenal Cipet

Comments Off on Episode Kecil Mengenal Cipet

Salam Semprot..
Nubi cuma pingin meramaikan Forum Kita Tercinta ini dengan sedikit Berbagi Cerita dan belajar menulis.
Menyampaikan ‘sesuatu’ yang mungkin nggak penting.
Tapi, paling tidak -buat Nubi- sedikit melepas beban RL yang menekan.
Cerita di bawah ini sebenarnya sudah pernah Nubi posting sebagai bagian dari cerita Rendezvous Tanpa Judul.. di Cerbung.
Namun tidak utuh sebagai satu kesatuan.
Nah, di trit ini Nubi coba rangkum menjadi satu kesatuan.. agar lebih enak dibacanya.
itu saja.

Sebagian Besar Isi Cerita berdasarkan Pengalaman Nyata.
Hanya saja, demi kenikmatan membaca harus Nubi ‘sesuaikan’.
——————————-

Selamat Membaca..

——————————–

Ayo Bar. Ikut aja. Ntar kita langsung ndaki Dempo, deh..! bujuk Agun, teman kuliahku.
Ogah. Aku mo nyelesain urusan kuliah.. kilahku ketika Agun dan Toton merayu di kost-anku.

Ya, saat itu seingatku, sih..! Aku memang sudah hampir di-DO alias drop out.
Bayangin saja.. Kalo ga salah tahun 1998 itu aku udah semester-semester terakhir. Semester 13.
Berarti, jika aku tak segera menyelesaikan perkuliahanku.. satu semester lagi aku harus DO, alias drop out.

Ketika itu memang sudah ga terhitung yang nanya.. apa yang membuatku jadi mapala alias mahasiswa paling lama..
Alasanku sepele, sih.. Aku cuma ‘menggunakan’ masa perkuliahan semaksimal mungkin.
Toh aku sudah menyisihkan sedemikian banyak saingan untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri.
Ngapain pingin cepet-cepet keluar..!? Masuknya kan susah..!? kilahku santai.

Lagian kupikir.. mahasiswa itu kan terdiri dari 3 jenis.
Pertama: Mahasiswa Biasa.
Kebisaannya 4 DB = Datang. Duduk. Denger. Diem. Balik.. alias Pulang.

Kedua: Mahasiswa Luar Biasa.
Nilai IPK-nya bisa mencapai 4.0. ke atas. Terus kena ambeien.. lantaran terlalu lama duduk.

Ketiga: Mahasiswa Biasa di Luar.
Ini yang jadi tipe orang-orang sepertiku. Ga pernah mantap di ruang kuliah.
Lebih sering nongkrong di luaran. Entah di luar kelas, atau malah di luar kampus. Hehe..

Ya, jelas saja. Orang akunya dan beberapa rekan sejenis memang banyak kegiatan, untuk tidak dikatakan sebagai ‘aktivis’.
Semua organisasi kampus atau UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) kami, eh.. maksudnya aku..! Kuikuti.. tanpa terkecuali.
Bahkan aku tak segan gabung dengan para ikhwan yang mangkal di mushala kampusku. Hedew..
Padahal orientasiku saat itu cuma gara-gara pingin nyicipin ‘cipet’ sebanyak mungkin.

Cipet itu istilah dari bahasa Tionghoa.. yang berarti vagina, memek, nonok, tempek, heunceut, pepek, puki, rajung, meki, veggy, ms.V dan penyebutan lain untuk kemaluan perempuan.
Maklum, di daerahku Sumatera Selatan.. Palembang khususnya, banyak keturunan Tionghoa-nya.
Nah.. di sinilah akan aku ceritakan awal mulanya kenapa aku lebih menyukai menggunakan kata cipet sebagai penanda atau istilah untuk menyebutkan kemaluan perempuan.. tinimbang penyebutan lainnya.

Namaku Bara, lengkapnya Bara Magma. Aku ga pernah tau apa dan kenapa diberi nama aneh dan unik seperti itu dari orangtuaku. Namun aku mencoba.. dan berhasil mencari sendiri apa makna dan arti namaku tersebut.. berdasarkan Etimologi.. atau cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna.

Bara dapat berarti benda, barang, atau sesuatu arang yang terbakar dan masih mengandung api.
Sedangkan Magma adalah lelehan batuan pada kerak bumi yang sangat panas.
Jadi.. silakan maknai sendiri, apa arti dan makna namaku itu. Hehe..

Usiaku saat ini ganjil bukan genap 45 tahun.. jika dihitung menggunakan hitungan bulan komariah.
43 tahun ketika menggunakan hitungan Masehi.

Aku kini hidup tenang dan penuh damai di sebuah kampung terpencil. Amateramatsangat terpencil.
Jauh dari silang sengketa, iri, dengki, ambisi..! Damai yang benar-benar penuh kedamaian.

Jujur saja, aku dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata. IQ-ku saat dites ketika kelas 5 SD sekitar 160.
Tes IQ tersebut sebenarnya aku jalani untuk mengikuti ujian pula. EBTANAS. Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional.
Ujian Akhir yang seharusnya dijabanin oleh siswa kelas 6. Jadi aku mengikuti Kelas Akselerasi, istilahnya.
Ga tau sekarang. Masih ada ga lompat kelas, atau akselerasi seperti zamanku SD dulu..!?
So, aku ga pernah ‘nyicipin’ yang namanya kelas 6 SD. Dari kelas 5.. aku langsung loncat SMP.

Semua berawal dari tanteku Rena, yang paling suka memanjakanku dengan membelikan majalah-majalah anak-anak yang tren pada zaman itu.
Setiap minggu. Tiapkali dia pulang kerja sebagai sekretaris di sebuah Perseroan Terbatas di Kotaku.. belum lagi sempat dia berganti pakaian, aku telah menyambutnya di depan pintu rumah..
Bukan menyambut kepulangannya.. melainkan segera merebut gulungan majalah yang dibelikannya untukku.

Lantaran itulah makanya.. bukannya sombong, sejak usia 4 tahun aku sudah bisa membaca. Lancar.
Celakanya atau malah untungnya..? Sejak usia itu hingga menjelang SD.. aku jadi lebih cepat mengenal yang namanya seks.
Dari mana lagi jika bukan dari kegilaan membacaku yang tak mengenal batas.

Mungkin hal itu yang mengakibatkan di usia 4,5 tahun aku ‘DO’ dari Taman Kanak-kanak.
Bosan. Itu alasanku. Sekolah kok cuma nyanyi dan main prosotan doang. Pikiran kanak-kanakku yang beropini.
Aku ngambek.. ga mau sekolah..! Aku demonstrasi, eh.. maksudku maksa ortu untuk memasukkanku bersekolah di Sekolah Dasar.

Nah, ortuku lalu berusaha mendaftarkan aku ke beberapa sekolah yang tak jauh dari kediamanku.
Hasilnya.. dari beberapa sekolah dasar yang ada di dekat rumah kami saat itu.. sukses.. ga ada yang mau nerima.
Jelas saja. Zaman itu pertengahan tahun 70an hingga akhir 80an.. masih pake ukuran tangan melingkar di atas kepala menyentuh telinga.

Ditambah dengan profilku yang memang masih Balita, eh.. sudah ampir 5 tahun, kog.. berpostur kurus, hitam.. ahh.. sawo matang ngkali ya..!? Itu yang menambah alasan sekolah-sekolah tersebut menolakku menjadi siswanya.
Coba hari gini..! Berbekal dengan kemampuan membaca yang sudah kumiliki saat itu, meski usiaku belum masuk usia sekolah.. pasti tetap diterima, ya ga..!?

Namun.. akhirnya semangat dan keinginan bersekolahku kesampaian juga. Uwakku yang bekerja sebagai sipir penjara anak di kotaku memberi kabar yang membuatku tersenyum 7 hari 7 malam. Hehe..
Dia bilang.. ada SD baru buka di dekat tempat kerjanya. Agak jauh, sebenarnya, sih..!
Untuk bisa sampai ke sekolahku tersebut.. aku harus naik bus kepala buaya sekitar 10 km dari pusat kota.

Perjuangan menuntut ilmu baru saja dimulai. Sebab aku harus pula berjalan kaki.. dari tempat aku diturunkan 500 meter di depan gerbang Lapas Anak tempat uwakku berdinas sebagai sipir penjara.. melewati jalan tanah, yang kadang seperti bubur tanah liat ketika musim hujan.. hampir 1 km lebih.
Dan tolong diingat sodara-sodara.. usiaku saat itu baru 4 hampir 5 tahun kurang lebih.

Memang sih, terkadang uwakku berbaik hati mengantarku ke sekolahku tercinta. Ketika dia dinas Pagi, dia mengantarku berboncengan menggunakan sepeda Ontel, pinjaman kepunyaan pemilik bengkel sepeda.. kurasa satu-satunya bengkel sepeda di sana di dekat Rutan Anak itu.
Maka sampailah aku di sekolah menuntut ilmu. Hedew.

Hingga akhirnya.. aku yang memang punya IQ di atas rata-rata, apalagi jika dibandingkan teman-temanku di SD terpencil tersebut.. jadilah aku Juara Umum. Nah.. berbekal predikat ‘juara umum’ itulah, aku akhirnya bisa dipindahkan orangtuaku ke sebuah SD favorit di kota. Yang tentu saja lebih dekat dengan rumah.

Seingatku.. pada masa itu semua bacaan untuk anak-anak yang masih bisa dihitung dengan jari..
seperti Si Kuncung, Bobo, Ananda dan beberapa lagi yang hilang timbul.. sama seperti ingatanku.. sudah aku baca. Semua. Begitupun bacaan berupa komik.. lebih banyak saduran atau ditranslate dari luar, seperti Album Walt Disney dari Amerika, Tintin, juga Eppo yang berbasis bahasa Belanda pun kusantap..!

Jadi, untuk memuaskan dahaga akan bacaan.. aku yang saat itu baru bisa membaca, tak memilih-milih.
Semua yang kutemukan dan bisa kubaca, kubaca. Dari kitab kumal, kertas bungkus kacang, Ramayana, Mahabaratha, baik yang berupa tulisan melulu hingga komiknya karya RA Kosasih. Kubaca.
Serial komik karya komikus negeri sendiri.. seperti Gundala, Si Buta Dari Gua Hantu, Laba-laba Merah, Godam, Jaka Sembung dan atau superhero-superhero DC dan Marvel Comics-pun kulahap-baca..!

Cerita-cerita Silat karya Asmaraman Kho Ping Hoo, buku-buku Petualangan Si Ketua Suku Apache, Winnetow dan sahabatnya Old Shatterhand karya Karl May.. tak luput untuk kubca.. hingga akhirnya secara ga sengaja, aku menemukan buku kumal di bawah kasur Om-ku.. Berjudul Nick Carter.

Bahkan kelak.. di kelas 3 SD, di usia 7 tahun.. aku menemukan buku-buku stensilan dan akhirnya menemukan dan membaca Enny Arrow..! Ugh. Bacaan-bacaan erotis yang pada mulanya ga kumengerti jika ga melihat gambarnya seperti di komik-komik.. akhirnya mulai kupahami sedikit demi sedikit.
Rangsangan aneh.. nikmat dan tak kupahami.. namun mulai membara, membakar, menggelitik rasa ingin tauku.

Walah.. malah kepanjangan nih open-openan ala Narciscus masa kecilnya. Hehe.. sori pembaca.
Setidaknya pembaca jadi ngerti latar belakang yang menjadikan aku ‘maniak cipet’.

Seperti judul ceritaku di atas.. Episode Kecil Mengenal Cipet. Itu saja, kog.
———————–

Entah kenapa bagiku dua suku kata tersebut terdengar lebih nyaman.. lebih terdengar lembut ketimbang vagina misalnya.. yang bagiku ketika melafalnya terasa teramat kaku.
Seperti membaca kata di buku panduan.. atau textbook. Atau memek yang masih terdengar kasar di telinga ketika dilafalkan. Terlebih nonok..! Ihh.. amit-amit deh.
Rasanya tak pernah sanggup lidahku melafal 2 suku kata tersebut. Terlalu barbar untuk telingaku.

Nah, kembali ke ingatan masa kecilku.. pada awal-awal keingintauan yang kian membara, membakar, menggelitik untuk mengenal lebih jauh sensualitas.. lebih tepatnya seksualitas.

Rumah keluargaku berdomisili benar-benar merupakan sebuah rumah keluarga.
Bagaimana tidak. Terletak tepat di pusat kota Palembang. Di bagian Ilir Hilir, tepatnya.
Lebih kurang 1 kilometer saja jauhnya dari jembatan Ampera.. yang menjadi ikon kota pempek itu.

Rumah keluargaku tersebut, menjadi tempat berkumpul dan tempat transit semua sanak keluarga.
Apalagi ketika perayaan hari-hari besar atau pernikahan dan sebagainya. Itu membuatnya seperti sebuah terminal khusus keluarga.. yang datang dari seluruh wilayah dan daerah di Sumsel. Bahkan ada yang datang dari kota-kota lain di luar Sumatera Selatan.

Sedangkan sungai Musi yang membelah Palembang menjadi 2 bagian, Ilir Hilir dan Ulu Hulu sudah terlalu akrab di keseharian penduduknya.. terutama di daerah tepian sungai Musi.
Tepat di seberang sungai, di bagian Ulu Hulu, terdapat beberapa kampung warga keturunan.
Arab, Cina, India, bahkan Belanda.
Kampung Keling -untuk keturunan India-
Kampung Ayib -untuk keturunan Arab-
Kampung Kapiten -untuk yang keturunan Tionghoa-

Untuk Kampung orang-orang keturunan Belanda.. terletak di bagian Ilir, yang semasa kolonial menjadi pusat pemerintahan.. Mereka tinggal di sebuah kompleks perumahan di daerah bernama Talang Semut.
Itu hanya sebagai ilustrasi singkat. Sekedar tambahan wawasan agar pembaca lebih bisa nyambung dan membayangkan isi ceritaku.

Jadi bayangin saja.. jika semua keluargaku berkumpul..! Maka akan jadi seperti neo dusunlah daerah tempat rumah kami berada. Dengan Rumah Besak menjadi sentranya. Hadew..
Nah, pada akhir tahun 70-an itu.. lingkungan pergaulan masa kecilku yang beragam dan multietnik.. membuatku jadi sangat pandai menempatkan diri, sekaligus beradaptasi dengan segala kondisi.
Jadi mirip bunglon.. kalo kupikir sekarang. Hehe..

Mudah-mudahan.. jika ingatanku yang berangsur musnah ini.. nanti deh, di chapter-chapter selanjutnya akan aku ceritakan pengalaman seks masa kecilku dengan gadis-gadis keturunan dari kampung di seberang ulu sungai Musi tersebut.
———————

Suatu senja, di bulan Agustus.. aku kebablasan ikutan mandi dan berenang di dekat bong para perempuan mandi, mencuci dan buang air. Untungnya, di usiaku saat.. kalo ga salah udah 6 tahunan.. ga jadi masalah buat mereka. Mungkin karena postur tubuhku yang memang kecil, hingga mereka ga malu dan atau mengusirku.

Maka.. dengan antusias, tersamar dengan lompat-melompat dari bong semacam rakit yang terikat di tepian sungai, bertutup/berdinding di bagian kiri-kanannya.  putri77.com Biasanya dinding tersebut menggunakan plastik bekas karung beras, atau terpal tipis ke sungai.. aku mulai membanding-bandingkan tubuhku dengan tubuh-tubuh perempuan dan gadis-gadis setengah telanjang itu. Ya. Hanya membandingkan.. tanpa tendensi apapun.

Sejak sore hari itu.. kegiatan lompat-melompat dari bong ke sungai jadi kegiatanku saban hari.
Hingga suatu sore menjelang maghrib.. di mana tepian musi dan bong telah lengang tanpa ada aktivitas cuci-mencuci, mandi dan kakus. Ketika aku telah selesai mengenakan celana pendek biru seragam sekolahku.. bersiap pulang.. waktu itu siswa SD belum pake seragam putih-merah seperti sekarang tiba-tiba.. Byurr..!

Tolong.. tolong..! teriakan panik terputus-putus akibat terbenam di air sungai.. kudengar sayup.
Di remang cahaya senja kusaksikan tangan mungil menggapai.. sekitar 2 meter dari tepi sebuah bong.. sekitar 7-8 meter dari posisiku saat itu.

Sontak saja.. tanpa pikir panjang aku meloncat.. terjun ke sungai yang mulai terlihat menggelap.
Bluppp.. blupp..!
Tohlongg.. tol.. blupp..!
Kupacu kecepatan renangku.
Kurangkul tubuh yang ternyata seorang gadis kecil berusia sekitar 8-9 tahunan itu dengan posisi wajah tengadah.. agar tak kelelep dan mulutnya kemasukan air.

Heh.. heh..! Gerakin kakinya.. Jangan panik..! kataku di sela aktivitasku berenang menuju bong terdekat. Gadis kecil itu cuma mengangguk.

Pelan kami akhirnya sampai di sebuah bong. Kudorong pantatnya yang telanjang..
Telanjang..!?
Baru aku sadari bahwa gadis kecil itu telanjang.. ketika secara ga sengaja mendorong pantatnya dari sungai ke atas bong.

Hukk.. hukk..! gadis kecil itu terbatuk lantaran mulut yang kemasukan air.
Aku yang dengan cepat naik ke atas rakit bong segera memijat tengkuknya. Berusaha mengeluarkan air sungai yang terminum olehnya.

Setelah tenang.. barulah aku bisa melihat dengan jelas wajah dan tubuh telanjangnya.
Meski dengan bantuan cahaya seadanya dari rumah-rumah rakit di tepian sungai.. masih bisa kulihat licin dan lencir tubuh langsing yang berbeda dengan tubuhku.

Uhuk.. Eh.. ehm.. terimakasih, ya.. ucapnya terbatuk, sisa air di tenggorokannya.. sembari bangkit dan menyambar salahsatu kain di tumpukan pakaian yang ditaruhnya di atas bong.
Ya, beruntung.. bong itu adalah bong dari tempat ia terpeleset dan jatuh ke sungai tadi.
Sialnya, aku jadi kehilangan pemandangan tubuh telanjangnya. Huh..
Ya, sama-sama.. balasku singkat.

Aku Ping-ping. Namamu siapa, dek..? lanjutnya.
Bara.. Yuk.. kataku mulai mencari-cari di mana bajuku berada. Ayuk, adalah sebutan untuk wanita yang lebih tua dalam hampir semua bahasa di SumSel.. sama dengan penyebutan Mbak di Jawa

Eh, aku pulang dulu ya, Yuk..! teriakku setelah berhasil menemukan bajuku yang belum sempat kupakai.
Eh.. tunggu dek. Pulang ke mana..? Kita bareng.. ujar Ping-Ping bergegas membenahi pakaian.. lalu menghampiriku.
Oh.. ayo.. aku menghentikan langkah. Menunggunya mendekat.
Setelah itu kami berjalan berdampingan menuju kampung. Pulang.

Dari situlah aku mengenal Ping-Ping.
Gadis kecil keturunan Tionghoa yang ternyata rumahnya tak berapa jauh dari rumahku.
Dari Ping-Ping inilah nantinya aku mengenal kata Cipet .. yang berarti kemaluan perempuan.
————————-

Senja kemarin-kemarin lebih emas dibanding dengan senja seminggu itu.
Daun-daun tua di pada pohon pinggir jalan.. semakin banyak yang runtuh.. dan hujan terasa kian rajin membasahi bumi.

Sejak Ping-Ping kutolong keluar dari ancaman tenggelam di sungai Musi tempo hari.. kami jadi akrab.
Terlalu akrab, malah. Bahkan terkadang aku menganggapnya jadi terlalu berlebihan.
Bagaimana tidak. Ping-Ping yang ternyata putri satu-satunya dari 3 bersaudara seorang tauke beras yang cukup terkenal di Palembang pada masa itu, menganggapku seperti dewa penolongnya.

Babah A-Sim, begitu bapaknya biasa disapa tengkulak-tengkulak yang biasa ngambil beras di gudangnya yang berderet di kampung 27 Ilir, adalah seorang duda.
Istrinya, ibu Ping-Ping.. meninggal dunia saat melahirkan adik bungsu Ping-Ping.

Begitu dimanjakannya aku. Melebihi adik kandungnya sendiri.. yang juga dikenalkannya padaku.. hingga akhirnya menjadi teman akrabku sampai sekarang.
Ping-Ping anak tengah. Koko-nya kakak laki-laki berusia lebih tua 12 tahun dari Ping-Ping yang baru berusia 9 tahun ketika itu.. telah pula berkeluarga dan pindah ke Bangka.. saat itu masih tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan untuk mengelola bisnis jual-beli beras Babah A-Sim di sana. Semacam anak cabang gitulah.

Adiknya bernama Sing-Go. Usianya hampir sebaya denganku yang 6 jalan 7 tahun.
Sing-Go 7 tahun lebih. Ia bersekolah di salahsatu SD Swasta Beken di Palembang. Kelas 1. Aku kelas 2.
Sing-Go inilah yang menjadi sebab-musabab terceburnya Ping-Ping waktu itu.
Ceritanya, sore saat kejadian.. Sing-Go mengajak Ping-Ping nekat berenang ke sungai Musi.
Logika bocahnya tergiur melihat anak-anak kampung 27 Ilir berlompatan dari bong ke sungai.. meskipun telah dilarang keras oleh Babahnya.. namun hari itu mereka berdua mampu lolos dari pengawasan.

Saban sore aku jadi sering diajaknya bermain ke rumahnya.
Kami bertiga.. aku, Ping-Ping dan Sing-Go bebas berbuat apa saja di rumah besar mereka yang berpagar susunan tong dipipihkan.. hingga takkan terlihat dari luar, kecuali jika diizinkan masuk.
Dari seringnya bermain bertiga inilah peristiwa bersejarah bagiku dan Ping-Ping terjadi.

Ketika itu memasuki libur hari ketiga catur wulan. Desember kalo ga salah.
Hari itu kami cuma main berdua. Sing-Go liburan.. ikut Babah A-Sim ke Bangka.
Di bagian belakang rumah Ping-Ping terdapat sebuah kolam ikan yang lumayan besar.
Kami sedang memperhatikan sepasang Labi-labi atau penyu yang sedang kawin.

Bagiku yang ketika itu baru cuma Only Read Not Action alias tau dari bacaan-bacaan doang, jelas jadi antusias dan pingin tau bingits.. hehe..

Wihh.. kok ditindih, Yuk..!? seruku khawatir.. ketika melihat labi-labi jantan tengah menindihi sang betina di bawahnya.
Kan berat. Ntar bisa mati kan..!? tambahku.
Hihihi.. ga papa, dek. Mereka sedang kancitan, kawin..! jelas Ping-Ping padaku.

Tuink..! Otak kanak-kanakku merespon.. memproses.. mencari korelasi dengan bacaan-bacaan yang pernah kubaca.
Kancitan.
Kawin.

Memang, sih.. dua kata kerja itu sering kudengar keluar dari mulut orang-orang dewasa di sekitarku..
Lagipula.. interpretasi seorang bocah berusia 6 hampir tujuh tahun.. yang bahkan belum dikhitan.. tentu saja belum sanggup menelaah secara benar.. apa makna dan arti sesungguhnya.

Apalagi ‘Kancitan..’ lebih sering digunakan dan diucapkan dengan berbisik-bisik.. untuk menjelaskan hubungan kelamin yang dilakukan sepasang manusia.. dibandingkan kawin yang lebih universal.
Sedangkan kacuk lebih sering dilontarkan sebagai kata seru.. yang dikeluarkan serupa umpatan, mencarut atau ngomong kotor belaka.
—-

Eh.. sedang ngapain mereka tadi, Yuk..? keingintauanku membuncah.
Kancitan, dek..! Ping-Ping senyum-senyum.. masih berusaha menjelaskan.

Padahal.. sebagai gadis kecil berusia 9 tahun, sebenarnya pengetahuan kami mengenai seks tak jauh berbeda.
Kancitan atau Kawin yang disebutkan dan berusaha dijelaskannya.. tak lebih sama dengan apa yang aku ketahui dari mendengar..!

Itu, dek.. labi-labi yang di atas, yang menindih itu.. labi-labi jantan. Yang di bawah yang betinanya..!

Oo.. begitu. Terus.. beda ga kalo dengan anjing kawin, Yuk..? tanyaku lagi semakin antusias.
Meski aku belum juga paham.
Aku mencoba membuat perbandingan dengan prosesi anjing kawin yang pernah kulihat suatukali.

Wah.. Ayuk kurang tau, dek..
Ping-Ping terlihat kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaanku dan penjelasannya sendiri.

Aku mendekati sepasang Labi-labi yang sedang kancitan itu.
Memperhatikan lebih seksama.. bagaimana sebuah proses reproduksi tengah terjadi.

Berusaha untuk tidak mengganggu prosesi nikmat sepasang labi-labi itu..
Meski dari jarak yang sudah lebih dekat.. aku hanya bisa melihat gerakan naik-turun pinggul
kalo bisa dikatakan pinggul, sih si labi-labi jantan. Tak lebih.

Itu dek.. tititnya yang jantan dimasukin ke cipet-nya betina..!
ujar Ping-Ping yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku yang setengah berjongkok.

Cipet..!? Apa tuh, Yuk..? menoleh sejenak, kemudian kembali memperhatikan labi-labi yang kelihatannya hampir selesai kawin.

Ketika itu.. aku memang belum pernah mendengar istilah atau kata cipet dari manapun.
Kalo untuk istilah titit.. sudah diajarkan oleh orangtuaku untuk menyebutkan kemaluanku..
dengan beberapa padanan kata, seperti misalnya lonceng atau gajah.

O, iya.. sebelum lebih lanjut.. aku jelaskan dulu apa arti kata kancitan dan padanan katanya.
Seperti yang telah kujelaskan di atas.. Kancitan adalah kata kerja bahasa Palembang, yang juga diserap dari bahasa Tionghoa. Entah bahasa mananya, Canton-kah, Mandarin-kah.. aku kurang tau. yang kata dasarnya adalah kancit.

Sama dengan kata Bersetubuh.. Bersanggama, Kenthu.. atau Ngentot.. istilah slang-nya.
Sedangkan dalam pengucapan lain menggunakan bahasa pasar sehari-hari, biasanya digunakan kata kacukan atau kayoan salahsatu bahasa daerah Sumsel.
———————–

Ngg.. apa ya..? Ping-Ping terlihat berpikir keras.. berusaha menerangkan apa yang ia jelaskan padaku.
Tak berapa lama tiba-tiba Ping-Ping mencekal pergelangan tanganku..
lalu menarikku berdiri dan membimbingku ke arah kamar mandi yang ada di dekat situ.

Setelah berada di kamar mandi yang ternyata berbentuk seperti kolam kecil..
dengan 3 anak tangga pendek di depan pintu masuknya.. dan lumayan luas itu, Ping-Ping menutup pintu, lalu medudukkanku di anak tangga kedua undakan.

Mau mandi ya, Yuk..? tanyaku ga ngerti.. kenapa aku diajak masuk ke kamar mandi tersebut.
Eh.. ya.. nanti langsung mandi.. katanya beringsut mundur sekira dua tiga langkah di depanku.
Aku cuma memperhatikan semua yang dia lakukan dengan pertanyaan-pertanyan membludak di otakku.
Ga mengerti sama sekali apa yang tengah terjadi.

Tanpa ragu, meskipun masih tersirat rasa malu..
Ping-Ping menurunkan celana setelan piyama yang jadi pakaian mainnya di rumah sehari-hari.. beserta celana dalamnya.

Srett..! Nah.. dek, ini yang namanya Cipet..!
Katanya.. sembari memajukan pinggul dengan sedikit menekuk lututnya.. membuat cembungan daging belah di antara pahanya tersembul.

Aku masih ga ngerti apa yang sedang dilakukan Ping-Ping barusan.
Jadi aku cuma pandangi saja kelepeh bari* berupa daging belah.. serupa garis vertikal di lepitan paha Ping-Ping dengan melongo, penuh tanda tanya. (*kelepeh = Dompet. bari = kuno, antik. Bahasa Palembang). Kebengongan yang berarti.. ga ngerti samasekali.

Pikiranku saat itu.. di dalam otak kanak-kanakku.. baru pada tingkat keingintauan tahap awal.
Berupa komparasi belaka. Membandingkan-bandingkan bentuk.. Apa yang berbeda antara bentuk tubuhku sebagai laki-laki.. dengan tubuh Ping-Ping yang perempuan.
Tubuh seorang bocah laki-laki dengan seorang anak perempuan, tepatnya.

Mana ada perasaan atau pikiran mesum yang muncul kala itu. Belum.
Sebab.. alat-alat reproduksi.. organ-organ genital pada tubuhku memang tidak samasekali berfungsi..! –untuk mengatakan belum berfungsi.. alias belum masanya..–
Ngaceng pun nggak sama sekali. Suer.. deh.

Sini dek..! Dekat sini.. Gapaian tangan Ping-Ping padaku yang masih terduduk di undakan anak tangga depan pintu kamar mandi.. mengajak untuk mendekatinya.

Sinar matahari senja itu menerobos dari kisi-kisi ventilasi kamar mandi.
Menerpa beberapa sudut di sana.. dan itu menjadikan tubuh kuning langsat Ping-Ping seperti dikelilingi pendaran cahaya. (Hehe.. jangan kira aku cuplik dari momen sebuah film, ya. Zaman itu sekitar tahun 1977-1978an. So.. satu-satunya channel TV yang mengudara.. adalah TVRI tokh..!)

Pelan.. tanpa melepas pandang.. tanpa mengalihkan pikiran yang tengah membanding-bandingkan..
Aku berdiri.. turun dari undakan anak tangga.. melangkah mendekati Ping-Ping.

Sini.. dekat lagi.. ga papa.. Ping-Ping menggamit pergelangan tanganku untuk lebih mendekat.
O.. iya, Yuk.. kataku yang kini berdiri sejajar dengan Ping-Ping.

Tinggi tubuhku ketika berdiri berhadapan dengan Ping-Ping cuma sebatas hidungnya.. tak lebih.
Itu karena usianya memang lebih tua kira-kira 2.5 tahun-an dariku.. ditambah postur tubuhku yang memang kurus kecil..

Wah.. dompet Ayuk kog beda dengan gajahku.. ya, Yuk..?
Kembali pikiran bocahku membandingkan perbedaan genital kami.
Aku lupa sama sekali.. dan sejak awal memang ga ngerti apa maksud Ping-Ping mengajakku ke kamar mandi.. apalagi ia lalu memperlihatkan daging belah di selangkangannya itu.

Tadi kan adek tanya.. Cipet tuh apa..? Nah, ini Ayuk kasih liat Cipet Ayuk..
Oo.. Cipet, ya..? ujarku mengangguk, mulai sedikit mengerti. Dengan tetap memperhatikan belahan cipetnya.

Iya.. jelas beda dengan gajah adek yang ada belalainya. Ayuk cewek. Adek tuh kan cowok..
Iya, ya.. Beda banget, ya.. Yuk.. Jawabku kian pingin tau dan membandingkan.

Baru kali ini pikiran seperti itu menguasai hasrat keingintauanku.
Selama ini.. yang aku tau, entah dari bacaan-bacaan.. atau melihat kemaluan anak-anak perempuan yang mandi di sungai Musi.. fungsinya adalah media atau alat untuk buang air kecil. Kencing. Itu saja.
Yang jelas.. benda bernama kemaluan itu.. selalu didoktrinkan -pada pikiran bocahku- adalah sesuatu yang jorok, kotor dan nggak penting-penting banget.

Ping-Ping lantas memetiki kancing piyama yang dikenakannya. Ia telanjang.
Belum ada hal-hal menarik dan berbeda dari tubuhnya yang kubanding dengan tubuhku saat itu.
Kecuali Cipetnya. Tentu saja.

Ayo buka baju adek. Kita mandi sama-sama, ya..? ajak Ping-Ping mengalihkan sesaat pandanganku pada lepitan cipetnya.

Ah.. aku berenang di sungai saja, Yuk.. kataku.. yang tiba-tiba saja teringat bahwa sudah lama ga lompat-lompatan dari bong ke sungai Musi.

Huh.. Ayuk ga ada teman, dong. Masak ditinggal sendiri, sih..? rajuk Ping-Ping.
Mandi di sini saja, dek. Temenin Ayuk ya.. rayunya lagi.

Berpikir sejenak. Aku menimbang-nimbang ajakan Ping-Ping.
Kasian juga.. sendirian di rumahnya yang besar ini.. Pikirku.
O, ya.. Ping-ping saat itu cuma ditemani 2 orang pembantu di rumah itu.
Kedua pembantu tersebut lebih banyak berada di dapur dan cuma beraktivitas pada jam-jam tertentu.

Ngg.. ya sudah. Tapi abis maghrib aku pulang.. ya, Yuk. Mo Ngaji..
Ujarku mengiyakan ajakan Ping-Ping.
Nah.. gitu dong.. adek yang baek..! sumringah Ping-Ping mencubit 2 pipiku.

Buka bajunya. Katanya mau mandi. Ayuk saja sudah telanjang.. nih.. lanjut Ping-Ping seperti ga sabar.
Ia langsung mengangkat-tarik baju kaosku melewati kepala.
Srebb..!
Aku telanjang dada. Terlihatlah dada kerempengku dengan barisan tulangnya. Haha..

Cklekk..!
Dia buka pengait seperti kancing pada celana biru seragam sekolahku.
Srett.. Blugg..!
Meluncur jatuh.. teronggok di kakiku.

Hihihi..! Spontan Ping-Ping ketawa terpingkal-pingkal sampai keluar airmata .. seraya menutup mulutnya.
Kedua kelopak matanya yang agak lebar untuk mengatakan tidak terlalu sipit.. tertutup.
Sehingga mencipta garis hitam.. bulu matanya.

Lucu sekali. Wajahnya yang tirus dengan rahang yang bergaris lembut serta dagu luncipnya.. saat itu terlihat seperti wajah tokoh-tokoh komik di majalah Eppo. tokoh komik-tokoh komik Hentai atau Manga, kalo sekarang.. mungkin, ya..!?

Kedua kelopok matanya yang yang tertutup jadi seperti menjadi sebuah garis hitam horizontal saja.
Dan meskipun aku ga tau kenapa dia ketawa.. tapi itu sudah cukup membuatku terpancing.. ketularan ikutan tertawa.. selain tawa spontannya.

Kenapa, Yuk..? Aku yang memang belum ngerti makin bengong.
Pilon istilahnya zaman itu. Unyu kalo zaman sekarang. Begitu kira-kira.
Berganti-ganti melihat ke wajah Ping-Ping yang memerah lantaran terpingkal ketawa.
Melihat ke arah bawah.. ke gajah kecil berbelalai panjang penis kecilku.

Masih menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.. setengah tertawa Ping-Ping mengulurkan tangan mungi kirinya ke arah si gajah kecilku.
Hihihi.. lucu banget bentuknya. Kok kayak Bona, ya..?

Kekeh Ping-Ping, menyamakan salahsatu tokoh cerita di majalah anak-anak, Bobo.
(Hehe.. yang pernah baca majalah Bobo pasti kenal dengan si Bona..)

Ayuk boleh pegang nggak, dek..? katanya penasaran.
Tud.. tudd..!
Belum lagi sempat aku menjawab.. tau-tau ujung jari telunjuknya telah menyentuh-nyentuhi belalai gajah kecilku yang sontak mengangguk-ngangguk. Seperti merespon.
Mungkin hanya respons alami.. sih.. hukum sebab akibat belaka.. toh semut aja akan balas menggigit kalo diganggu, ya.. ga? Hehe.

Auh.. geli.. Yukk..! seruku setengah kaget mendapat cuilan tiba-tiba Ping-Ping.
Sontak aku memundurkan pantatku.. berusaha menghindari serangan jurus telunjuk Ping-Ping pada gajah kecilku.

Tapi apa dayaku, sepersekian detik kemudian.. tangan mungilnya itu sudah berhasil meraih si gajah kecil.
Terlihat sekali kecanggungan.. ragu-ragu. Tapi itu tertutup oleh antusiasme dan rasa ingin taunya.

Hati-hati, seperti tak ingin menyakiti.. atau ragu-ragu.. sebenarnya sih.. Ia pegang perlahan belalai gajah kecilku itu.. Jdut..! Tau-tau dia jepit pake jempol+telunjuk+jari tengahnya.. seperti orang mencubit. Nyutt..! Ughh.. geli banget rasanya.
Anehnya aku ga terlalu merasa malu dengan Ping-Ping yang saat itu sudah bersimpuh di depanku.. agak sedikit menunduk.

Dengan seksama dan penuh ingin tau Ping-Ping memperhatikan penisku, si gajah kecil berbelalai panjang itu dari dekat. Sangat dekat.
Kontan si gajah kecil di selangkanganku mengangkat belalainya. Ngaceng..!

Ya, jelas saja.. ngaceng. Lah.. dianya dicolok-colok.. dipencet-pencet.. dipijit-pijit.. diurut-urut.. ditarik-tarik gitu..!
Siapa yang tahan ga ngaceng, coba..!?

Meskipun sebenarnya untuk bocah seusiaku ketika itu.. masih belum siap secara fisikal dan mentalist..
Tetapi.. tetap saja dong..! Itu kan merupakan salahsatu titik iritabilita laki-laki yang paling peka.
Maka.. ketika Ia mendapat rangsangan eksternal.. tentu saja respons alami itu bereaksi balik.
Normal, kan..?

Intensitas gerak jemarinya menekan-tarik si gajah kecil yang masih culunku kian intens.
Menimbulkan rasa dan sensasi.. geli.. dan kenikmatan yang ga kumengerti. Too bizarre..

Saking geli yang tak tertahan.. aku sampai menggerinjal menggoyangkan pinggul..
berusaha melepaskan jemari tangan Ping-Ping yang menggelitik.

Auhh.. Yuk.. sudah.. sudah..! Geli Yukk..! geliatku hingga tak sadar aku sampai terjajar ke belakang.
Blug..! Gedebugan pantatku terduduk di lanta kamar mandi..
Aih.. maaf dek. Maaf.. maaf..! Ping-Ping bersegera menghampiri.

Respon keterkejutan Ping-Ping berdasarkan dua hal..
Pertama.. menyaksikan reaksiku ketika si gajah kecilku dia toel-toel-remas-tarik-pijat-pencet.
Kedua.. Helm si gajah kecil yang perlahan muncul.. menghilangkan kulit penutup depannya..
hingga si gajah kecil yang tadinya berbelalai.. pada saat itu berubah wujud menjadi si prajurit mbalelo. Hehe..
Jadi.. intinya ia terkaget+kagum+penasaran pada perubahan signifikan yang terjadi pada si gajah kecilku.

Sakit, ya dek..? tanya Ping-Ping khawatir.
Nng.. ngga tau Yuk.. Geli.. jawabku sambil menahan campuran rasa.
Sakit di pantat yang berciuman dengan lantai kamar mandi dan sisa geli-geli aneh sewaktu Ping-Ping mengeksplore pegang-pijat-urut-tarik si gajah kecil tadi.

O, ya.. saat itu kan aku belum dikhitan.. Jadi.. frenulum atau kulup di kepala penisku membuka-menutup setiapkali Ping-Ping mengurut batang si gajah kecil. Memang lucu banget deh, kalo inget saat itu.

Eksplorasi Ping-Ping kian meluas. Tak lama kemudian ia tidak hanya memegang batang penisku.. tapi juga menyentuh telinga si gajah kecil.. alias kantung pelir.
Aku makin blingsatan.. di samping muncul juga sesekali perasaan nikmat.
Yang aku sendiri belum ngerti. Nikmat yang aneh.

Ini apaan ya, dek..? katanya sambil meraba telinga si gajah kecil. Penuh heran dan kian penasaran.
Ping-Ping meraba-raba sambil sesekali sedikit meremas 2 biji pelirku.
Aku jadi meringis-ringis. Gimana mo nerangin. Orang aku aja belum ngerti.
Ada ngilu.. di situ.
Ada geli.. di sana.
Ada enegnya juga.. huh.
Pokoknya udah campur baur ga karu-karuan.

Eh, kenapa keras.. seperti ada tulangnya ya, dek..?
Ping-Ping malah menekan-nekan kantung pelirku.. seolah ia ingin meyakinkan.. apa memang benar ada dua buah di dalamnya.

Iihh.. lucu ya..? Nggak kayak aku punya..!
Lha iyalah..! Dari bentuknya aja beda..! pikirku dongkol juga.

Brrr..! Kembali rasa ngilu seperti menohokku.. ketika secara ga sengaja Ping-Ping malah meremas sedikit agak keras kedua biji pelirku.
Aduh.. duh.. ngilu Yuk..! protesku sembari respons memundurkan pantat.

Namun akibat gerakan refleks yang tiba-tibaku itu, justru belalai si gajah kecil yang agak tegang jadi terjatuh ke telapak tangan Ping-Ping.
Ping-Ping kembali langsung menarik-urut kulit kepala penisku.. mengeluarkan-masukkan helm si calon prajurit di kulit kepala penis atau kulup frenulum hingga membuka-menutup beberapakali.

Hihihi.. kekehnya merasa lucu dengan aktivitasnya.
Terus ia buka-tarik kulupku ke belakang, ke arah buah pelir.
Ia tahan agak lama sembari memperhatikan perubahan wujud belalai gajah kecilku dengan seksama.

Untung saja di bawah kulit kulupku bersih.. ga ada smegma yang menumpuk di bawah kulup atau foreskin.. jadi ga perlu dibersihin.
O, ya.. smegma atau kotoran hasil sekresi kelenjar kulup.. berwarna putih dan agak lengket.. dalam bahasa Palembang dikenal dengan sebutan PILAT.

Aduhh.. Yukk..! erangku kebingungan.
Aku trauma. Lantaran buru-buru mo pipis.. pernah kulupku nyangkut di ritsleting.
Wuaduhh..! Minta ampun sakitnya. Sakit juga kan..? Kulit di kepala penis tertarik seperti itu. Kalo ga percaya coba aja. Hehe..
Nah.. dari pengalaman sakit tersebut, akhirnya aku maksa-maksa ortuku untuk dikhitan alias disunat.

Ada yang unik dengan kata Pilat. Di SumSel umumnya, Palembang khususnya.. kata Pilat biasanya lebih sering dilafalkan sebagai umpatan atau cacian sarkasme untuk seseorang yang benar-benar udah nyebelin.
Biasanya dirangkai dalam satu kalimat ejekan.. Woi.. tai Pilat jadi manusio..!
Jadi artinya kira-kira begini.. Heii.. smegma menjadi manusia..!

Nah.. setelah dia puas memegangi-mengucek-ucek gajah kecilku.. kami mandi.
Tapi campuran rasa nikmat yang aneh, geli, ngilu di sekitar wilayah selangkanganku seperti masih menjalari tubuhku.

Rasanya sentuhan Ping-Ping tadi masih berbekas di kemaluanku.
Sampai akhirnya Ping-Ping mencuci sebersih-bersihnya permukaan kepala penisku glans dan juga kulit beserta lipatan-lipatannya.

Sambil mandi aku mulai melakukan counter attack.
Mulanya cuma melihat-lihat lagi kemaluan Ping-Ping yang seperti belahan pantat, tetapi kecil itu.
Kemaluan Ping-Ping juga tidak ada bulunya.
Aku makin penasaran karena yang terlihat hanya seperti belahan pantat saja.

Yuk, boleh aku liat Cipetnya..? Aku minta Ping-Ping memperlihatkan belahan daging di sela pahanya.
Ping-Ping ga menolak.. malah ia langsung membuka lebar kakinya.. memenaikkan sebelah kakinya di undakan dekat bak mandi.

Aku berjongkok.. lalu sedikit merangkak di depan kemaluan Ping-Ping.
Terlihat bagian dalamnya berwarna merah dan di bagian bawah ada celah.
Boleh kupegang Yuk..? kataku ingin mengeksplore kemaluan Ping-Ping.

Ketika tanganku menyentuh belahan daging kemaluannya, dia beringsut.. sedikit mengangkat pantatnya.
Hihihi.. geli dek.. kekehnya terjengit.
Ping-Ping lalu bersandar di bak mandi.. sambil menatap ke bawah.. memperhatikan agresiku di Cipetnya.

Perlahan kemaluan Ping-Ping aku buka, sehingga terlihat bagian dalamnya yang seperti ada daging tumbuhnya.. memanjang ke bawah.

Duh.. duh.. pelan-pelan dek. Sakit Cipetnya..
Ping-Ping mengerang.. protes kesakitan ketika tanpa kusadari jariku menekan-nekan bagian dalam kemaluannya.

Uhh. Maaf.. maaf.. Yuk.. gelagapan.. aku menghentikan sejenak mengobel-ngobel.
Iya.. ga papa. Jangan keras-keras saja.. ujar Ping-Ping membolehkan.

Kembali kucoba mencolok. Kali ini lubang kencing itu, tetapi tanganku ditarik Ping-Ping, katanya sakit.
Aku berpikir aneh sekali kemaluan Ping-Ping.
Apa sama bentuknya dengan Cipet-Cipet perempuan lain.. tidak beraturan dan lubang kencingnya besar, ya..? Tanganku terasa agak basah terkena cairan kemaluan Ping-Ping.

Melanjutkan eksplorasi jemariku pada bagian atas Cipetnya.. tiba-tiba Ping-Ping bereaksi.
Sshhh.. Hihihi.. Geli. Geli dek..! desis Ping-Ping sambil menggeliatkan pinggulnya.
Itu ketika aku tekan-tekan bagian Cipetnya yang sedikit menonjol seperti kacang. Kelentit Ping-Ping.

Aku kembali menekan-nekan daging yang seperti kelopak, kaku di atasnya.
Setiapkali kusentuh bagian atas itu, Ping-Ping mendesis dan katanya geli sekali.
Itulah awal kami saling mengeksplore kemaluan masing-masing.

Aku jadi mengenal Cipetnya yang imut lucu plus dengan si kacang merahnya yang kinyis-kinyis.
Sedang Ping-Ping jadi tau.. kalo si gajah kecil berbelalai panjangku bisa berubah menjadi prajurit berhelm Darth Vader.. saat itu si prajurit belum suka mbalelo.. loh.. Hehe…
————————–

Sepertinya.. hidup memang serupa kebetulan kebetulan yang disengaja.. seperti halnya taqdir.. yang juga dibuat dan dirancang sedemikian rupa oleh Tuhan..!? Entahlah.

Awan bersisik lamban gerak.. menari tanpa lagu di gigir angin.
Malam itu rembulan masih tersembunyi di sebalik sisik sang awan.. ragu menekannya, untuk hadiri tahta atas kelam yang tengah berkuasa menjajah alam.

Aku baru saja menyelesaikan PR-ku mengulang bacanya.. memastikan semua jawaban soal-soal Ujian Evaluasi Belajar Tahap akhir yang kukerjakan telah rampung, menurutku.. kemudian menyusun buku-buku dan peralatan sekolah yang akan kubawa besok pagi.. lalu memasukkannya ke dalam tas sekolah..

Tanpa mengganti pakaian tidur.. aku langsung membaringkan tubuh di kasur kapuk di sudut kamar.
Sejenak merasakan keempukan.. dan kenyamanan kasur yang berisi buah kapuk.. berasal dari pohon randu berbiji berisi serat di dalamnya itu.

Dalam terkaparku.. letih dan penat menggelayuti benak dan tubuhku.
Sebenarnya aku sendirilah yang seperti memforsir diri sendiri.
Membebani diri dengan tanggungjawab yang sebenarnya belum saatnya untuk kusandang.
Pada usia yang masih sangat belia.. harusnya aku masih bermain dengan anak-anak seusia atau sepantaranku.

Tapi mau bagaimana lagi..? Hadew..
Kecerdasan Intelejensia.. atau intelligence quotient yang di atas rata-rata anak-anak seusiaku..
yang mestinya merupakan anugerah.. justru bagai sebuah kutukan bagiku.

Kecerdasan Intelejensia itu tak berimbang dengan emotional quotient atau Kecerdasan Emosiku.
Jelas saja aku limbung. Untung saja kedua orangtuaku begitu mendukung.. hingga sedikit mengurangi beban emosional yang kutanggung.

Akan tetapi. bagaimanapun juga aku harus menyiapkan segala sesuatunya.
Sebab.. tak lebih 3 minggu ke depannya aku harus mengikuti EBTANAS.. menghadapi ujian.. Evaluasi Tahap Akhir Nasional.. Ujian yang seharusnya dijabanin anak-anak kelas 6 itu.. aku ikuti.
Karena.. aku berhasil lulus pada test di kelas akselerasi.
Itulah makanya.. hampir tiga bulan berselang aku sudah ga pernah lagi main ke rumah Ping-Ping.. sudah ga pernah lagi memainkan apa saja yang bisa kami mainkan. Hehe..

Sebelum ruh-ku berkelana ke pelataran mimpi.. ingatanku berputar.. hitam-putih laksana film bisu.. seperti merewind memori otakku pada kejadian-kejadian beberapa bulan belakang.

Sejak kejadian belajar anatomi tubuh pada senja di kamar mandi rumah Ping-Ping waktu itu.. kami lebih seringnya Ping-Ping, sih.. jadi makin sering saling mengekplorasi.. saling menyentuhi.. mempelajari tubuh yang berbeda masing-masing.

Kami mencoba-coba.. mencari tau secara bertahap.. menikmati sensasi yang belum waktunya kami ketahui.
Hampir selama 3 tahun kegiatan bermain dan belajar bersama saling raba.. saling sentuh.. saling menikmati dalam kerangka pikir kanak-kanak itu kami lakukan.
Dari usiaku menjelang 7 tahun hingga menginjak 9 tahun dan Ping-Ping memasuki usia 13 tahun.
Atau sejak aku duduk di bangku kelas 5 SD.. dan Ping-Ping kelas 1 SMP.

Lebih seringnya memang Ping-Ping sih.. yang memulai membuka pelajaran nikmat itu. Sumpeh deh.
Terutama jika keadaan rumahnya yang memang tak banyak penghuni itu sedang sepi.
Maka dengan leluasanya Ping-Ping bisa memperkosaku secara nikmat. Hehe..

Dia ga pandang Sikon. Entah di kamar mandi dekat kolam belakang rumahnya.. di ruang tengah tempat nonton TV.. bahkan di kamar tidurnya pun pernah dia ‘perkosa’ aku.
Mungkin dikarenakan memang pada usia segitu.. libido Ping-Ping sedang mengalami pancaroba.. di samping itu pula rasa ingin taunya yang sangat besar terhadap perubahan-perubahan signifikan pada tubuhnya.. mendorongnya jauh lebih aktif daripada aku.

Puncaknya adalah ketika beberapa hari sebelum Ping-Ping mengalami menstruasi pertamanya pada usia 12 tahun setengah.
Akibat terlalu seringnya berolahtubuh tanpa memahami dan mengerti tujuan..
Apa.. kenapa dan untuk apanya aktivitas olahtubuh itu kami kebablasan..
Hingga dengan penuh rasa ingin tau.. kami melaga Belalai si Gajah Kecil di selangkanganku.. versus.. Daging belah di selangkangan Ping-Ping. Ya, si Cipet.

Nah.. ketika haid pertamanya itu datang.. Ping-Ping yang memang perempuan satu-satunya dari 3 bersaudara itu.. jelas kebingungan dan panik.
Tak tau harus bagaimana serta kepada siapa bertanya sebagai tempat mencari tau.
Ke Babah Asim, ayahnya.. jelas Ping-Ping jengah. Ketemu dan ngobrol bersama saja mereka jarang.
Gimana dia mo nanya-nanya perihal yang Babah Asim sendiri ga ngerti..!? Hehe..

Untung saja dua orang pembantu rumah tangga mereka adalah perempuan.
Hingga akhirnya Ping-Ping sedikit terbantu mengatasi permasalahannya.
Persolaan Privacy Perempuan. Womans World. Haha..

Meski sebenarnya aku tak terlalu pingin tau dibanding Ping-Ping.. namun tak pelak, kenikmatan aneh yang ketika itu masih teramat absurd bagiku.. terus terbayang-bayang.
Apalagi.. sebelum kancitan atau bersanggama dengan Ping-Ping hari itu aku telah pernah.. meski aku ga secara sadar ngancitin.. ngentotin bibi.. atau tanteku sendiri.. lebih tepatnya aku yang dientot.

Ya.. secara kebetulan, tak sengaja.. dan ngga samasekali disangka-sangka aku bersetubuh dengan bibi atau tanteku sendiri 3 minggu seusai acara khitananku. Beughh..!
Ntar deh di lain kesempatan aku ceritakan pengalamanku kehilangan keperjakaan di usiaku yang baru memasuki usia 8.. hampir 9 tahun dalam sebuah favors accident atau kecelakaan nikmat..!
(Tapi ngga janji ya.. hehe..). Ini kan cerita gimana aku kecil pertamakali mengenal kemaluan perempuan yang akhirnya lebih suka kusebut cipet.

Pada usia tersebut.. aku sudah pecah bulu.. idiom atau istilah dalam bahasa Palembang.. yang artinya kira-kira dalam bahasa Indonesia adalah matang sebelum waktunya.. atau matang karbitan. Haha.. nasib.. nasib..!

Jadi, walau aku belum benar-benar dapat menikmati aktivitas seksual yang kami lakukan saat itu.. namun bagiku itu cukup mengasyikan.. dan kuanggap saja sebagai sebuah acara main-main atau permainan baru yang enak. Itu aja.

Sekali waktu.. sedang asyik-asyiknya aku dan Ping-Ping bercumbu seusai kami pertamakali melaga kelamin kecil kami.. alias ‘kancitan.. Sing-Go memergoki perbuatan mesum kakaknya yang sedang memainkan belalai gajahku di kamar mandi belakang rumahnya.

Lucunya lagi.. awalnya sih ia bengong.. ga ngerti apa yang sedang berlaku.. Ia malah ikutan jadi ‘peserta permainan baru kami itu.. dengan membanding-bandingkan belalai gajahnya dengan belalai punyaku yang ketika itu telah berhelm.. karena telah dikhitan, alias disunat beberapa bulan sebelumnya.
————————–,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

PutriBokep

Create Account



Log In Your Account