PELUKIS MALAM 2020

PELUKIS MALAM 2020

PELUKIS MALAM 2020

Comments Off on PELUKIS MALAM 2020

Pelukis Malam

Jari-jari lentik dengan cekatan mengambil beberapa buku filsafat dari rak yang sedikit berdebu. Buku-buku yang terlihat sudah mulai usang. Diantaranya terdapat buku berisi kumpulan hasil pemikiran Aristoteles.

Braaak… buku-buku yang dipegangnya berhamburan, menerbangkan debu-debu yang menempel.

Maaf, saya sedang tergesak-gesak, terdengar suara bariton seorang pemuda yang sedikit tersengal. Pemuda itu dengan cepat mengambil buku yang terjatuh. Memberikannya pada si gadis, lalu bergegas pergi.

Si gadis menggerutu, dengan sikap yang terbilang tidak sopan dari pemuda yang telah menabrak dirinya. Memang pemuda itu sudah meminta maaf. Tapi caranya menyerahkan buku yang terjatuh tanpa menoleh sedikitpun membuat gadis itu merasa jengkel.

Dihampirinya petugas bagian peminjaman buku dari perpustakan kampus yang berada didekat pintu keluar. Dalam barisan antrian didapatinya pemuda yang telah membuat mood nya terganggu. Tampak cuek dengan rambut gondrongnya yang dibiarkan tak rapi.

Huh… selalu saja begini, makanya aku malas meminjam buku disini, umpat sang pemuda saat memeriksa dompetnya mencari kartu peminjaman.

Aku rasa kau memang tidak pernah memiliki kartu itu, ucap Marisa. Entah untuk apa ia berucap seperti itu.

Bu Marisa?… ucap pemuda itu terkaget setelah menoleh kebelakang. Tatapannya begitu dingin, seakan tak peduli dengan pemuda didepannya.

Marisa menghela nafasnya, Kamu tho ternyata, Pantas…

Pemuda dihadapannya yang ternyata adalah Nade, seorang mahasiswa yang semester ini juga diajar olehnya, merasa bingung dengan nada bicara Marisa.

Apakah… eemmm… yang saya tabrak tadi Bu Marisa? tanyanya ragu.

Marisa lagi-lagi menghela nafas, dengan raut muka kesal. Tapi Nade justru tertawa, Maaf, saya benar-benar sedang tergesa-gesa, ada tugas yang harus saya selesaikan.

Mata Marisa segera mengamati buku-buku yang digenggam Nade. Tiba-tiba Nade menepuk jidatnya, mengutuki dirinya yang tidak sadar bahwa tugas yang tengah digebernya itu justru diampu oleh Marisa.

Ayo… yang mau pinjam buku, seru petugas bertubuh gemuk dengan ketus, menyadarkan Nade, tiba gilirannya. Tapi pemuda itu justru terlihat bingung.

Jadikan satu dengan punya saya saja Pak, ucap Marisa, seraya turut menyerahkan tiga buah buku ditangannya.

Wajah petugas perpustakaan berubah tersenyum ramah. Siapa yang tidak kenal Marisa, si dosen cantik. Meski termasuk orang baru di akademisi kampus, gadis itu sudah menyedot perhatian banyak pihak karena pemikirannya yang berani menentang doktrin yang melekat.

Hanya saja info yang beredar berubah menjadi sedikit miring dan merugikan dirinya, tapi bagi mereka yang mengenal Marisa tentu dapat menebak apa yang sebenarnya terjadi.

Makasih Bu… ucap Nade tersenyum kecut, berusaha untuk ramah. Bagaimanapun dirinya terpaksa mengulang mata kuliah yang justru diampu oleh Marisa, karena bermasalah dengan dosen sebelumnya.

Kamu yakin bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu?, tanya Marisa meragu.

Nade melihat jam didinding yang ada dibelakang petugas perpustakaan yang sudah menujukkan pukul setengah sepuluh, sementara Marisa mengisi mata kuliah tepat pukul 1 siang ini .

Ok…Pastikan kamu mempresentasikannya siang ini, dengan atau tanpa makalah, sambung Marisa sebelum berlalu pergi diiringi tatapan Nade yang tak mampu menjawab pertanyaan Marisa.

Tapi bukan hanya mata Nade yang mengekor kepergian Marisa, petugas perpustakaan dan beberapa mahasiswa yang ada disitu memandang tubuh Marisa dengan tatapan berbeda.

Tubuh yang menampilkan lekukan indah, kerap dibalut blus dan rok panjang yang cukup ketat dan jilbab yang selalu menghias wajah cantik, semakin menyempurnakan pesona seorang Marisa.

Dalam langkahnya menuju pintu keluar Marisa tersenyum membalas senyum beberapa mahasiswa dan mehasiswi yang berpapasan dengannya.

Tapi senyum yang terus mengembang diwajahnya saat ini berbeda, semua karena ulah Nade, mahasiswa semester tua yang selalu bersikap dingin, namun peristiwa tadi memaksa pemuda itu untuk mengucap terimakasih sambil mengangguk hormat kepada dirinya.

Sebenarnya Marisa mengagumi pola pikir Nade yang sedikit berbeda, dengan argument-argument yang meyakinkan pada saat diskusi, meski cowok itu sering kerepotan saat didebat oleh teman-temannya yang tidak sehaluan dalam memahami pemikiran yang dilontarkannya.

Hanya saja sikap idealis, pendiam dan tidak terlalu peduli dengan penilaian orang terhadap dirinya membuat Nade terlihat sebagai pemuda yang tak tau diri, setidaknya dari kacamatanya sebagai dosen yang selalu menempatkan segala sesuatu sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku diotaknya, entahlah… sebenarnya siapa yang idealis terkadang Marisa masih bingung.

Dan siang ini dirinya ingin melihat apakah mahasiswa yang berambut gondrong dengan pakaian yang tak pernah rapi, itu mampu memaparkan hasil pemikiran-pemikiran Al-Farabi tentang wawasan kebangsaan dan pesona dunia.

* * *

Marisa, telah duduk manis dalam sebuah Bis Patas yang akan mengantarkannya kesalah satu Kota di tengah pulau Jawa. Aktifitas kampus dikota yang cukup jauh dari rumah, membuat dirinya harus mengontrak sebuah rumah sederhana. Rumah itu hanya sebagai tempat beristirahat selama 4 hari mengajar, karena Marisa meminta agar mata kuliahnya dipadatkan dalam empat hari.

Marisa merasa hidupnya cukup sempurna untuk seorang gadis, lulus S2 dengan predikat cumlaude, diterima sebagai dosen di universitas ternama, dan kini tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Irwan, yang berselang beberapa minggu setelah rencana pernikahan kakaknya.

Suasana kampus yang dinamis, membuat Marisa merasa nyaman dilingkungan nya yang baru. Memang cukup banyak dosen lajang yang mencoba mendekati dirinya, tidak ketinggalan beberapa dosen paruh baya dengan predikat duda yang nekat ingin mempersunting dirinya, namun Marisa dapat menolak dengan halus dan menerangkan statusnya yang sudah bertunangan.

Dan hari ini dirinya ingin memberi sedikit kejutan kepada tunangannya ,Irwan, yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Rasa rindu menggebu dan rengekan Irwan yang selalu menanyakan kapan dirinya pulang.

Diambilnya kaca makeup dan memoleskan bedak tipis, memastikan wajahnya tetap segar. Jemari lentiknya berusaha merapikan jilbab yang sedikit berantakan.

Bis behenti tepat didepan rumahnya yang berada dipinggir jalan arteri, hari sudah mulai gelap, sesaat dipandanginya rumah dengan bentuk klasik dengan pagar coklat kusam yang mengelilingi.

Rumah warisan kedua orang tuanya, tidak ada yang berubah, meski cat warna abu-abu yang membalutnya semakin kusam. Rumah ini telah memberinya beribu kenangan, dan disini pulalah dirinya dilahirkan sekaligus dibesarkan.

Mungkin semua itu pulalah yang membuat dirinya menolak saat Irwan mengajaknya membeli rumah dipinggiran kota. Dan rumah ini telah resmi menjadi miliknya.

Karena, Nirma, Kakak semata wayangnya lebih memilih rumah yang lebih besar, yang dibeli ayahnya beberapa hari sebelum tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa ayah, Ibu dan kedua adiknya.

Meski sudah memiliki rumah sendiri tapi entah mengapa Nirma lebih senang tinggal dirumah itu bersama dirinya, Mungkin pertimbangan Puskemas tempat bekerja Nirma yang seorang perawat lebih dekat dengan rumah yang mereka tempati.

Nirma jualah yang menjadi penopang hidup mereka selama Marisa masih kuliah dan menunda pernikahannya dengan Mas Waryono.

Sebuah Toyota Rush terpakir dihalaman, mobil yang sangat dibanggakan Irwan, hasil dari kerja kerasnya sebagai seorang marketing sebuah perusahaan.

Seketika Marisa tersenyum, jantungnya berdegub kencang, Apakah Irwan sudah menebak kepulangan ku, batinnya, ataukah sekedar menitip parkir seperti yang sering dilakukan oleh kekasihnya itu.

Perlahan jemarinya mendorong handle pintu yang tidak terkunci, diruang tamu tas kerja Irwan tergeletak diruang tamu. Marisa tersenyum, hatinya sudah berniat ingin mengagetkan Irwan lebih dulu.

Kakinya mengendap menuju ruang tengah, tapi ruang itu terlihat sepi. Begitu pun dengan kamarnya yang diduga Marisa, Irwan nekat masuk kekamarnya untuk numpang beristirahat, tapi nihil. Marisa mulai bingung dimana Irwan berada.

Dan kemana pula Mba Nirma, apakah sedang piket malam? tanya hati Marisa. Kakinya menghampiri kamar Mba Nirma, karena hanya ruangan ini yang tersisa setelah menengok dapur dan bagian belakang rumah juga kosong. Ada rasa takut menyerang dirinya. Dan…

Marisa terhenyak, tubuhnya lemas seketika, tersandar dibibir pintu. Dua insan yang tengah bergelut penuh gelora, tidak menyadari kehadirannya.

Air matanya dengan cepat menetes mendapati kekasih tercinta tengah mengayuh tubuh Mba Nirma kakak semata wayang yang begitu dikasihinya. Irwan tampak begitu liar dan bersemangat menunggangi tubuh Nirma yang mengangkang lebar, seolah memasrahkan tubuhnya untuk dikendarai silelaki dengan ganas, bersambut lenguhan-lenguhan dari kedua bibir yang tengah beradu hasrat.

Tas Marisa yang terjatuh kelantai tidak juga membuat kedua insan berlainan jenis itu menyadari ada seseorang dibelakang mereka.

Hentakan-hentakan pinggul Irwan yang dilakukan sekuat tenaga membuat kedua paha Nirma semakin terbuka lebar, pusaka yang seharusnya hanya boleh untuk dirinya kelak, kini dipergunakan untuk memuaskan Mba Nirma yang mengerang semakin kuat.

Rok putih dari seragam kerja Mba Nirma masih melekat, terangkat hingga kepinggang yang ramping, lusuh dan sebagian basah oleh keringat.

Berkali-kali wajah Irwan terbenam dipayudara Nirma, meski seragam itu tidak terbuka dengan sempurna, namun cukup bagi Irwan untuk melabuhkan bibir untuk menghisap puting yang telah mengeras.

Berkali-kali pula wajah itu terangkat untuk mendapatkan bibir kakaknya dan kembali dibenamkan kebongkahan daging ranum yang ada didada, rakus memangsa puting merah muda yang sengaja dipamerkan untuk dinikmati.

Air mata Marisa mengalir semakin deras, isak tangis tanpa suara, sebuah kepedihan yang mendalam. Hanya mampu bersandar dengan sedikit tenaga untuk menumpu tubuhnya agar tidak terjatuh.

Aaaahh… Masss…

Aaahhhh…

Rintihan dan lenguhan puncak kenikmatan yang diproklamirkan oleh Nirma ditegaskan dengan belitan betisnya yang putih kepinggang sang pria. Tubuh mulus itu menggelinjang, mengangakat tinggi pantatnya, memaksimalkan kenikmatan yang menghampiri.

Erangan orgasme Nirma, dijawab dengan hentakan keras dari Irwan, mengikuti langkah Nirma, menggeram serak, menghantar sperma kerahim yang pasrah untuk dibuahi si pejantan.

Beberapakali Irwan menghentak pinggulnya, membuat batang itu terbenam semakin dalam, mengosongkan sperma yang ada dikelaminnya. Lalu melenguh nikmat penuh kepuasan.

Mas menang lagi… 3-1…hehehee… ucap Irwan terengah-engah, rupanya pemuda itu berhasil menahan orgasmenya hingga si gadis mendapatkan orgasme lebih dulu.

Mas tadi kan curang… pake jari… tapi malam masih panjang… masih ada kesempatan membalik kemenanangan…hehehe… ucap si gadis, kakinya membelit pinggul Irwan, tak membiarkan pemuda itu turun dari tubuhnya.

Marisa terhuyung, meninggalkan kemesraan yang terjalin antara kekasih dan kakak kandungnya, hatinya terlalu sakit untuk menghadapi semua ini. Jelas, hubungan itu bukan yang pertama bagi mereka.

Matanya yang basah berusaha mencari kunci motor yang biasa digantungkan pada dinding. Cepat tangannya mengambil dan dengan tenaga yang tersisa dirinya berusaha mengeluarkan motor matic milik Nirma.

BRRRRRUUMM….. suara knalpot mengiringi kepergian sicantik yang melarikan diri dengan linangan air mata. Mengagetkan Irwan dan Nirma yang masih saling menindih.

Irwan yang mengira ada maling yang membawa motor dari rumah itu, segera mengambil handuk yang tersampir didinding, lalu meloncat keluar. Tapi hanya mendapati suara motor yang perlahan menghilang dikegelapan.

Braakk…
Siaaall… Tinjunya menghantam pintu dengan keras, mengumpat, yang ada diotaknya hanyalah bagaimana cara mengejar maling itu dan mendapatkan kembali motor Nirma.

Tapi saat dirinya berbalik Nirma telah berada dibelakangnya dengan wajah pucat, menenteng tas Marisa yang tertinggal.

Seketika tubuh Irwan menjadi lemas, beribu sesal seketika menghampiri. Raut wajah cantik Marisa dengan segala sifat pengertian dan sabarnya seolah terpampang dihadapan mata. Tangannya terulur mengambil tas, masih tercium wangi parfum yang tertinggal

Isak tangis Nirma mulai terdengar, berlari kekamarnya. Semakin membuat Irwan tercenung dalam diam, tak ada air mata yang keluar. Menghempas tubuh keatas sofa.

Sementara, Marisa yang menggeber motor menembus keramaian, berusaha menguasai hatinya, namun semakin dirinya menyadari apa yang telah terjadi semakin deras air matanya mengalir.

Mereka adalah dua orang yang begitu disayangi oleh Marisa.

Nirma, Kakak semata wayang yang selama ini begitu dikasihi, karena hanya Nirma lah yang tersisa dari keluarga besarnya, dan Nirma pula lah yang menghantar dirinya menjadi seorang dosen seperti saat ini.

Sementara Irwan adalah pemuda yang telah menjadi kekasihnya semenjak mereka dibangku SMA, yang dalam hitungan bulan akan resmi menjadi suaminya.

Entah kemana dirinya hendak menuju Marisa tidak tau sama sekali, yang pasti saat ini dirinya hanya ingin lepas dari masalah yang melanda, meski dirinya sadar itu tidak mungkin bisa.

Hampir satu jam motor itu meraung membelah jalan provinsi. Jarum yang menunjukkan kondisi bensin, hampir menyentuh tanda empty. Segera Marisa meminggirkan motornya setelah menyadari dirinya dalam keadaan darurat, teringat akan tas nya tertinggal, tangannya merogoh kantong blezer, tapi hanya permen yang didapat, tak ada uang sepeserpun. Segera wajahnya berubah pucat, matanya memendar mencoba mengenali daerah pelariannya saat ini.

Ya Tuhan… Marisa mendesah lega, jemarinya mendapati amplop berisi honor dari Pak Taslim, yang tanpa sengaja diletakkannya dikantor blazer bagian dalam. Setidaknya dirinya aman untuk beberapa saat. filmbokepjepang.com

Setelah mengisi bensin, Marisa kembali menggeber motor berwarna hitam silver itu, hatinya memilih untuk menuju timur pulau jawa, kota tempatnya kuliah dulu sekaligus tempat dirinya mengajar saat ini. Paling tidak dirinya mengenali kota itu dengan baik.

Angin malam menerbangkan jilbabnya, udara dingin seakan mendukung suasana hatinya yang membeku. Beberapakali dirinya digoda pengendara lain, Marisa begitu menantang untuk seorang gadis dimalam yang penuh kepekatan dunia.

Tepat pukul 9 malam motor Marisa mulai memasuki kota. Dipertigaan lampu merah hatinya sempat bingung, kemana dirinya harus menuju, kunci kontrakannya tertinggal didalam tas. Akhirnya Marisa memilih menuju jantung kota. Malioboro, sebuah wilayah eksotis yang kerap dijadikannya tempat refreshing.

Setelah menerima pesan dari tukang parkir agar tidak menitipkan motor terlalu lama, Marisa melangkah kan kaki menyusuri emperan pertokoan, dan terhenti disalah satu pertokoan yang sudah tutup. Baru saja Marisa menghempaskan pantatnya di sisi lantai yang dingin, terdengar suara serak seorang pemuda.

Marisa? seru pemuda itu setengah bertanya.

Marisa terkesiap ketika menyadari siapa pemuda dihadapannya, Nade, mahasiswa yang tadi siang baru saja dikerjainya saat melakukan presentasi.

Boleh saya menemani Bu Dosen, nongkrong?… Nade cukup bijak dengan tidak menanyakan kondisi Nirma yang tampak berantakan. Pemuda itu hanya memainkan gitar kecil. Mencoba menemani gadis disampingnya dengan senandung pelan.

Sering nonkrong disini? tanya Marisa setelah menghabiskan waktu yang cukup lama dalam kebisuan.

hampir tiap malam, jawab Nade datar, tanpa menoleh dan terus memainkan jarinya pada senar.

Ternyata kota ini benar-benar mengasyikkan, kenapa aku baru sadar sekarang, tutur Marisa sambil mengamati para pedagang yang mulai mengemasi barang dagangan, sambil terus berharap ada pembeli yang mampir meski sebagian barang telah masuk kedalam kotak kayu.

Marisa merenggangkan kakinya yang tengah selonjor, coba membuang penat, namun tak urung menarik perhatian Nade yang mendapati belahan depan rok si gadis yang ternyata robek.

Marisa yang juga baru menyadari kondisi roknya yang robek entah oleh apa, ingin kembali menekuk kakinya, tapi ototnya terasa sangat pegal, akhinya membiarkan kaki itu terentang sambil berusaha menutup celah yang terbuka.

Nade harus mengagumi kemulusan kaki dosen cantik itu. Menyadari ada yang memperhatikan kakinya yang terdapat celah hingga keatas lutut, Marisa akhirnya melipat kakinya, namun itu justru membuat roknya tertarik hingga mengekspos paha.

Kenapa bisa robek sih, gerutu Marisa kembali merentangkan kaki.

Nade tersenyum dingin melihat gerakan gadis disampingnya yang salah tingkah, kalo ibu tidak keberatan, mungkin saya bisa mentraktir ibu diangkringan situ,

Tidak, terimakasih… tolaknya lembut. Otaknya coba mengingat-ingat beberapa rekan, yang dianggapnya mampu untuk menampung dirinya malam ini.

Kllrrruukkk…

Sadis… suka menyiksa cacing juga ternyata… Nade bangkit dari duduknya. Ayo makan… tapi menunya kelas kaum marginal, ngga apa-apakan?… untuk pertama kalinya cowok itu menatap wajah Marisa setelah cukup lama mengobrol.

Marisa bangkit dari duduknya, menekuk lutut, dan tanpa sadar memberikan sedikit tontonan pada Nade yang kemudian tersenyum dingin.

Pasti nasi kucing… jangan salah, itu juga santapan ku… ucap Marisa, melangkah cepat coba menjejeri langkah Nade.

Pak… kopi jahe satu… pesan cowok itu sambil memilih-milih tumpukan nasi kucing dalam bungkusan minimalis, Ini oseng teri kan Pak?… sambungnya, mengangkat dua bungkusan nasi dengan coretan spidol hitam.

paha ayam ada ngga Pak?… tanya Marisa, membuat Nade menoleh dan melotot kaget.

Katanya udah sering keangkringan… ada juga daging sapi tuh… Sambung cowok itu, telunjuknya menunjuk beberapa tempe gembus yang sudah dingin .

Iyaa… iyaaa… cuma canda koq… galak amat sih… ucap Marisa dengan wajah tak kalah galak sekaligus kesal, candanya berbuah hardikan.

Ibu yang galak… saya juga bercanda koq… pemuda itu menuju tikar yang digelar diemperan pertokoan.

Obrolan kedua mahluk itu membuat beberapa pembeli yang duduk didepan gerobak angkringan tampak bingung.

Bercanda atau marahan sih ni orang… mungkin itu yang dipikiran seorang tukang becak yang tak lagi tenang menghabiskan ceker ayam ditangan, matanya sibuk mengamati bongkahan pantat yang dibalut oleh rok ketat sembari berusaha mengintip dicelah kain yang robek.

Koq disitu, aku ngga bisa duduk… protes Marisa, teringat rok nya yang robek, membuatnya sulit untuk duduk lesehan dengan santai.

Nade menoleh, lalu mengamati tiga orang bapak paruh baya yang duduk manis dibangku depan gerobak.

Maaf pak… bisa geseran sedikit, Dosen saya mau ikut duduk…

Oohhh… silahkan neng… masih lega koq bangkunya… jawab si tukang beca, mendorong temannya dengan paksa agar memberi ruang.

Ngga pak… makasih… saya disini saja… wajah Marisa memerah, hatinya kini benar-benar dibuat kesal oleh Nade.

Sialan kau De… umpat gadis itu.

Namun Nade justru tertawa terpingkal, Nih pake… ucapnya sambil menyerahkan jaket kulit lusuh.

Buat apa? Aku ngga kedinginan koq…

Ini buat nutupin paha Bu… tapi kalo ibu memang mau mamerin kain merah kecil yang didalam situ, juga ngga apa-apa koq…

Kurang ajar, wajah cantik Marisa semakin memerah, seandainya dirinya tidak dalam kesulitan seperti ini, pasti sudah sejak tadi ditinggalkannya pemuda itu.

Tapi dirinya masih belum tau harus kemana, dan perlu waktu untuk menyeleksi siapa saja yang dapat didatanginya dimalam yang sudah mulai pekat ini.

Dengan kesal diambilnya jaket Nade, lalu duduk bersimpuh dengan menutupkan jaket kepahanya. Tapi yang membuat Marisa bingung, kapan pemuda itu mencuri pandang keselangkangannya yang seingatnya memang mengenakan celana dalam warna merah muda.

Sambil menyantap nasi yang dibungkus daun pisang, sesekali Marisa melirik pemuda gondrong disampingnya. Begitu cuek dan dingin. Tapi keberadaannya saat ini cukup membuat Marisa merasa lebih aman.

Maaf ya… tadi siang saya sengaja mengerjaimu… dan untuk saat ini tolong jangan panggil saya Ibu, cukup Marisa, ucap Marisa membuka obrolan.

Saya tau koq… dan saya juga sengaja mendebat Ibu,

Sialan… pantas saja kamu ngotot banget…

Tapi memang benarkan?… bahwa esensi manusia adalah keberpikirannya. Bagi mereka semakin sempurna seorang manusia, semakin sempurna pula pemikirannya.  photomemek.com Dan itu tidak terlepas keterkaitannya dengan emosi, karena jelas hasil pemikiran manusia sangat dipengaruhi oleh emosi, kecendrungan dimana mereka memposisikan diri maka kearah situ lah kencendrungan buah pikirnya.

Marisa berusaha menahan tawa, pemuda yang beberapa menit yang lalu terlihat begitu iseng mengerjai dirinya, seketika berubah menjadi sangat serius. Perdebatan seru tadi siang seakan kembali terulang.

Lalu… cinta yang menurutmu adalah salah satu bentuk emosi yang dapat kapan saja memenjara otak manusia dalam komitmen yang labil, apakah memang harus dipupus agar tak ada lagi pengekangan? pancing Marisa sambil tersenyum.

Sesaat Nade memandang wajah Marisa, seakan ingin mengenali seberapa cantik raut rupa dari gadis yang diidolakan oleh banyak mahasiswa dikampusnya. Cinta itu naif… ucapnya pelan.

Mata Marisa seakan mendapati sisi lain dari seorang Nade yang belum pernah dilihatnya.

Sehina itukah hubungan kasih sayang antar seorang anak manusia yang disebut dengan cinta? sambung Marisa, terucap dengan ragu.

Entahlah, tergantung dimana kita memposisikan diri, jawab Nade seolah ingin mengakhiri perdebatan, Sekarang kita mau kemana? Masih ingin jalan-jalan atau mau kehotel?

Marisa melotot Hehh… siapa yang ngajakin kamu kehotel? Aku gadis baik-baik, bukan seperti para gadis yang ada diujung gang sana yang sering kamu samperin.. ucap Marisa penuh emosi.

Tapi itu justru membuat Nade tertawa, Bu Dosen yang cantik, adakah dari kalimat tanya yang kuucap tadi yang merupakan kalimat ajakan ke hotel? tanya Nade sambil mendekatkan wajahnya, sangat dekat, hingga dapat merasakan hembusan nafas Marisa. Aku cuma bertanya, sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai seorang lelaki, sebagai seorang murid dari Bu Dosen, memastikan keselamatan Bu Dosen malam ini.

Eehhh.. kali ajaa.. Marisa memundurkan tubuhnya. Pikirannya kembali bingung, kemana harus melangkahkan kaki malam ini. Dengan cepat dirinya merunut siapa saja teman gadis yang mungkin dapat dikunjunginya malam ini untuk numpang menginap.

Ga tauuu… ucap Marisa, putus asa. Sebagian besar temannya sudah wisuda dan kembali kedaerah masing-masing. Sementara uang yang ada dikantongnya jelas harus dihemat.

Marisa menatap Nade seakan berharap ada jalan yang lebih baik untuk dirinya malam ini.

Pemuda disampingnya menghela nafas, Ya udah gini aja, kalo Bu Marisa bisa mempercayai aku, silahkan ikut… tapi kalo sebaliknya yaa… Nade tidak meneruskan kalimatnya, hanya mengakat kedua pundaknya.

Jelas semua keputusan ada pada gadis itu.

Cukup lama Marisa termenung, matanya memendar emperan malioboro yang sudah mulai sepi. Sesekali mata lentiknya beradu pandang dengan beberapa tukang becak yang tak beranjak dari duduk, masih setia berusaha mencuri pandang akan kemolekan tubuh gadis itu.

Iya dehhh.. aku ikut kamu, tapi… jangan…

Jangan diperkosa? sambung Nade cepat sambil tertawa. Pemuda itu bangkit, merenggangkan kaki yang cukup lama tertekuk. Tapi sesaat kemudian kembali berjongkok tepat didepan Marisa.

Bu Marisa bisa mempercayai aku, lagipula harapan satu-satunya hanya tinggal aku untuk malam ini, ucap Nade dengan lembut, namun menegaskan bahwa dirinya bisa memberikan rasa aman pada gadis itu. Tangan Nade terhulur menawarkan untuk membantu Marisa berdiri.

Bener yaaa?… ucap Marisa penuh iba, segala keangkuhan yang selama ini dipertontonkan sirna tak berbekas, berganti dengan sifat feminis seorang gadis yang memohon untuk sebuah perlindungan.

Dan tolong jangan panggil Ibu, aku malu, sepertinya kita hampir seumuran ucapnya.

Untuk pertama kalinya Marisa memegang tangan Nade, pertemuan kelembutan kulit seorang bidadari dan kulit badak seorang pengamen perkotaan berstatus mahasiswa.

Ketatnya rok membuat Marisa cukup kesulitan untuk berdiri, namun saat menyadari mata Nade yang tertuju pada belahan rok nya yang robek, seketika gadis itu berteriak. Tuuuu kaaaann… dasar cowok mesuuum

mau gimana lagi, kamu yang sengaja ngangkang didepan ku koq, hahahaha…

Enak ajaaa dibilang sengaja ngangkang… dasar cowok mesum, seru Marisa dengan gemas, menoyor pundak Nade yang membalikkan badan membelakanginya. Pikirnya pemuda itu pasti cukup lama memandangi selangkangannya yang terekspos, tapi gelapnya malam memberi sedikit keyakinan pada Marisa.

delapan belas ribu kan Pak? tanya Nade yang sudah sangat hapal dengan harga dari apa saja yang sudah mereka makan dan minum.

Kamu naik apa kesini?

Marisa tidak menjawab, hanya menunjuk sebuah motor yang terparkir tidak jauh dari mereka.

Kayanya kita pakai motor mu aja, ucap Nade cepat. Pak Dee.. titip motorku yaa.. teriak pemuda itu sembari melempar anak kunci dari motor butut yang terparkir dipojok dinding parkir, kepada lelaki paruh bayu yang dengan sigap menangkap.

Marisa tercengang, Sialan, ngambil keputusan sepihak, ga pake kompromi, dengus hati gadis itu. Namun tetap menyerahkan kunci motornya kepada Nade.

Tak ada percakapan berarti disepanjang jalan menuju arah luar kota. Marisa yang duduk menyamping diboncengan, berusaha membetulkan jaket Nade untuk menutupi bagian rok nya yang robek.

Pikiran Marisa kembali dipenuhi akan kejadian yang tengah menimpa dirinya, penghianatan dari dua orang yang sangat dicintai. Masa depannya seakan hancur.

Mungkin dirinya masih bisa menghindar dari Irwan, tapi Mba Nirma, jelas tidak mungkin untuk memutus hubungan darah yang ada. Perjuangan Mba Nirma yang bekerja keras untuk biaya kuliahnya seakan menjadi peredam dihati yang terluka.

Sekuat apapun hati seorang Marisa untuk bertahan menghadapi kenyataan, pastinya akan runtuh, berusaha mencari tumpuan untuk menyandarkan hatinya yang semakin melemah.

Tanpa sadar tubuh Marisa menyandar kepundak Nade.
Beberapa saat yang lalu keisengan Nade dapat sedikit membantu melupakan peristiwa dirumahnya, tapi kini semua seakan kembali terburai memenuhi rongga hatinya yang kosong.

* * *

Aku harus gimana, mas? suara isak tangis tak henti keluar dari bibir Nirma. Semua ini gara-gara kamuuu…hikss… gadis itu seakan ingin menimpakan semua kesalahan kepada Irwan. Karena memang Irwan yang terus merayu dirinya, hingga hatinya luluh dan menyerahkan tubuhnya kepada kekasih adiknya itu.

Aku ga tau kemana harus mencari Fira…hikss… ga tau apa yang harus aku ucap bila bertemu Firaaaa… tangis Nirma semakin kuat. Tangannya memeluk erat tas Marisa.

Irwan yang duduk disofa tidak jauh dari Nirma hanya mampu terdiam, menghisap lintingan rokok dengan wajah putus asa. Menyesali semua perbuatannya.

Entahlah… tapi aku harus mencari Marisa secepatnya, Irwan beranjak, menuju kamar.

Nirma menatap Irwan dengan tatapan kosong, Lalu aku? ucap Nirma pelan, membuat langkah Irwan terhenti, menatap Nirma dengan bingung.

Aku terlambat bulan, Mas… hiks… tangis yang sempat terhenti kembali pecah. Pernyataan yang keluar dari bibir Nirma kembali pecah.

Kamuuu… kamuuu.. hamil?… suara Irwan meninggi.

Tak ada jawaban dari bibir Nirma, hanya tatapan penuh harap agar lelaki didepannya dapat bertanggung jawab dan menyelesaikan semua masalah yang terjadi.

Tapi.. bukankah kamu pernah melakukan juga dengan Mas Waryono? berusaha lari dari kenyataan.

Nirma menggeleng, Masss…. ini anak kamu!!!… seketika Nirma berteriak, bangkit dari duduknya. Kamu yang pertama kali meniduri ku, dan aku selalu menolak saat Mas Waryono mencumbuku.

Tapi…. aku selalu menggunakan kondom kan? Jadi aku tidak tau itu anak siapa. Irwan coba mengelak.

Apa kamu mau liat sperma yang baru saja kau hamburkan divaginaku? Bajingan kamu Masss…. ucap Nirma pelan, hatinya sangat syok, inikah sifat asli dari seorang Irwan.

Lelaki itu menghampiri Nirma, menatap wajah Nirma yang tak kalah cantik dari Marisa, namun kini tampak sembab oleh air mata. Akkuuu.. akuu.. memang mencintai kamu, tapi aku juga tunangan adik mu kan?.. akuuu….

Semua yang dikatakan Irwan memang benar, tapi cara Irwan yang langsung mengelak untuk bertanggung jawab, ditambah tuduhan bahwa anak yang ada didalam perut Nirma adalah bukan miliknya, membuat gadis itu seketika membenci lelaki yang kini bersimpuh didepannya.

Keluar lah, cari Marisa sampai ketemu, masalah kandungan ku biar aku yang…. hiksss… Nirma tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tangannya mendorong Irwan agar menjauh.

* * *

Ini kos kamu?… tanya Marisa, berdiri didepan sebuah rumah tua dengan arsitektur eropa yang cukup kental.

Nade hanya tertawa, melangkah masuk meninggalkan Marisa yang segera berlari mengiringi langkah si pemuda.

Malam semakin pekat, rumah yang terletak disisi jalan kaliurang, semen dari pelapis pagar nya sebagian sudah terkelupas dan berlumut, seakan ingin memberitahu bahwa rumah itu cukup berumur.

Beberapa pohon akasia yang tumbuh menjulang didepan rumah, terus berusaha menutupi beranda rumah dari cahaya lampu jalanan, namun rembulan malam itu dalam wujudnya yang sempurna cukup sebagai penerang akan keberadaan rumah itu.

Nadeee… serem banget sih rumahnya, Marisa menggenggam lengan Nade yang tengah sibuk mengetuk daun pintu. Suara petikan gitar yang sayup terdengar semakin membuat Marisa bergidik takut.

Ehh.. Bang.. kirain siapa,
Daun pintu yang terbuka menampilkan sosok seorang gadis mungil yang terlihat imut dengan rambut dikuncir. Siapa bang? selidik si gadis saat mendapati Marisa yang berusaha tersenyum ramah.

Kenalan aja sendiri, jawab Nade, masuk meninggalkan Marisa yang kebingungan, lalu menghulurkan tangan. Aku Marisa, temannya Bang Nade,

Ooohhh.. aku Intan, silahkan masuk mba, si gadis menyambut huluran tangan Marisa, lalu menggandeng mengajak masuk kedalam rumah. anggap aja rumah sendiri, Mba,

Marisa tersenyum melihat tingkah centil Intan.

Mba, pacarnya Bang Nade ya? Jarang-jarang lho bang Nade ngajak cewek ke rumah, malah setau ku hampir ga pernah, artinya kan Mba ini teman spesialnya Bang Nade. Mulut Intan terus mengoceh, tidak memberi kesempatan kepada Marisa yang ingin mengklarifikasi tentang status hubungan mereka.

Mereka memasuki ruang tengah yang sangat luas, mata Marisa menyatroni setiap sudut rumah yang terbilang cukup unik dibanding rumah pada umumnya. Bagian tengah rumah itu tampak terbuka, membuat siapapun yang berada dibawah dapat menatap langit dengan bebas.

Matanya tertuju pada dua pemuda disudut ruangan yang menyapa dengan anggukan, baru lah tau Marisa darimana sumber suara gitar yang tadi sempat didengarnya.

Yang ini nama nya Yuda, yang ini namanya Firman, terang Intan.

Setelah menyapa Marisa, salah satu pemuda berkumis tipis kembali memainkan gitarnya. Sementara pemuda disampingnya kembali asik dengan gadget ditangan.

Kamar Bang Nade pintu yang nomor tiga itu mba, Intan mendorong pantat Marisa agar mengiringi Nade yang sudah berada dalam kamar.

Tapi De…

Santai aja mba, anggap seperti dirumah sendiri.. Intan tertawa melihat sikap kaku Marisa, tanpa menunggu jawaban, dirinya berbalik ke-dua pemuda yang tampak santai di dipan berukuran 2×3 meter. ehh.. geser dong… seru Intan, mengambil posisi dipojok dekat dinding, lalu merebahkan diri.

Tinggallah Marisa yang berdiri mematung ditengah ruangan.

kalo mau istirahat dan ganti pakaian, pakai aja kamar itu, Suara Nade mengagetkannya.

ehh… makasih.. terus kamu?..

Aku bisa dimana aja… istirahat aja dulu, kalo mau ngelanjutin nangis bisa dikamar koq, dijamin ga ada gangguan, goda Nade.

Apaan sih.. bibir Marisa manyun, ada rasa kesal dihatinya yang berharap Nade memberikan sedikit simpati atas air mata yang membuat matanya sedikit bengkak.

Didalam kamar Marisa merebahkan tubuhnya yang cukup penat, jilbab yang dikenakannya tergeletak disamping bantal. matanya memandang langit-lagit kamar, bermodalkan lampu lima watt yang temaram, sesekali tertuju pada lukisan absurd seorang perempuan yang dipeluk oleh seorang lelaki.

Seketika dirinya teringat pada sosok Irwan, lelaki yang telah mengisi hatinya selama tiga tahun lebih. Seorang cowok romantis yang selalu mampu membuatnya terbuai oleh kalimat-kalimat yang manis.

Rayuan berbalut rengekan manja yang kerap dilontarkan untuk menagih sebuah remasan manja pada payudaranya. Rindu… rasa itulah yang sempat menggelayut dihati Marisa, pada kemanjaan dan kenakalan tangan yang selalu berusaha menyelusup kebalik pakaiannya.

Namun saat teringat pada pergumulan panas antara Irwan dan Nirma, dada Marisa tiba-tiba terasa sesak.

Kini semua hayal akan keindahan masa depan dari hidup yang dianggapnya sempurna telah sirna. Bahkan untuk mengadu pun Marisa bingung harus kemana.

Nadeee… ahh.. cowok itu terlalu cuek, rungut hati Marisa.

Meski badannya terasa lelah, namun matanya tak jua terkatup, sedikitpun gadis itu tak mampu menghempaskan kesadarannya dalam lelap. Hingga akhirnya memutuskan mengenakan kembali jilbabnya dan keluar kamar, mendapati Nade yang asik memainkan gitar.

Ga bisa tidur, rengek Marisa, dengan gaya manja seorang gadis, lalu duduk disamping Nade.

Tapi pemuda itu hanya menyambut dengan senyuman.

Aku benci rasa sepi dalam gelapnya malam, karena hanya akan membuat ku semakin terpuruk. Marisa mencoba memancing Nade untuk ngobrol.

Aku kabur dari rumah, ucap Marisa pelan.

Tau koq… jawab Nade, simpel.

Uuughhh… dasar cowok autis, seru Marisa yang kesal.

Nade menghentikan petikan gitarnya. Hahaha… lalu aku harus gimana? Menanyakan masalah apa yang sedang kamu hadapi? Setau ku tidak semua orang ingin hidupnya dicampuri oleh oleh orang lain, tapi.. kalo mau cerita ya ayoo…

Nade memutar tubuhnya menghadap Marisa.

cobalah kau urai masalah yang tengah membelenggumu saat ini,

Tidak, aku takut, jawab Marisa pelan.

Kenapa? Takut hatimu semakin sakit,

Marisa menggeleng, Aku takut pikiranmu yang nyeleneh itu merasuki otakku, dan membuat keadaan semakin kacau.

Nade tertawa, setidaknya aku tidak pernah merasakan sakitnya dikhianati, airmataku terlalu berharga untuk dunia yang penuh kebohongan ini, bahasa Nade sedikit nyinyir, seandainya Marisa tidak mengenal sosok yang ada disampingnya mungkin dirinya akan tersinggung. Tapi darimana pemuda ini tau bahwa dirinya baru saja dikhianati oleh tunangannya.

Nadee… tunanganku selingkuh,

Cuma selingkuh? Terus kamu kabur dari rumah sambil menangis sepanjang jalan?

Bukan Cuma itu, suara Marisa meninggi, kesal dengan respon Nade. dia selingkuh sama kakakku, mereka udah begituan, rengek Marisa, berharap Nade peduli atas deritanya.

Begituan gimana? Nade menggaruk kepalanya, terlihat jelas pemuda itu tidak pandai dalam menghadapi gadis. Maksud kamu begituan yang seperti itu? sambungnya sambil menunjuk Intan yang kini sedang ditindih oleh seseorang.  filmbokejepang.com Daster babydoll yang dikenakannya tersibak hingga keperut dengan kaki yang mengangkang lebar, membiarkan pemuda diatas tubuhnya memacu menghentakkan pinggul dalam irama yang pelan.

Eeehhh.. merekaa.. merekaa.. sedang.. Marisa tergagap menutup mulutnya.

Kentu… jawab Nade cepat, lalu kembali memetik senar pada getar, memainkan melodi yang menghanyutkan, seolah mengiringi pacuan birahi dua anak manusia yang bercinta dalam temaram.

Nadee.. tapi itu kan? Apa kamu ga terganggu ada orang begituan didekat mu? Itu… ituu.. sama pacarnya ya? Terus ituu cowok yang satunya.. kenapa ikut megang-megang juga.

Marisa tergagap, beribu tanya tak mampu terucap dengan jelas dari bibirnya. Pergumulan panas yang seakan mengacuhkan orang disekeliling. Keheranan Marisa semakin besar saat pemuda lainnya sesekali ikut menyusu pada si gadis yang hanya bisa pasrah dan sesekali mendesah pelan.

Koq kamu bisa cuek gitu sih liat yang begituan? Marisa berusaha mengalihkan pandangan matanya.

Hubungan kelamin itu tidak jauh berbeda layaknya kontak fisik saat kita berjabat tangan, yang membuatnya berbeda dimata manusia itu dikarenakan kita menganggap hal itu terlalu tabu untuk dilihat oleh orang lain,

Mata Nade menatap Marisa dengan tajam, sesekali pandangannya turun pada gumpalan daging padat didada Marisa.

Lalu apa kau ingin memandangi kelamin ku seperti kau memandangi jari-jariku ini dengan bebas, ucap Marisa sambil mengacungkan tangannya kedepan wajah Nade. Entah darimana dirinya mendapatkan kata-kata itu.

Atau jangan-jangan kamu.. Marisa beringsut, menjaga jarak duduknya.

Hahahaha… Tidak…Aku tidak pernah ingin menjadi seorang pahlawan kesiangan bagimu, dan menggunakan teoriku sebagai perangkap untuk menikmati kamu, apa nikmatnya bercinta dalam keadaan terpaksa, ucap Nade sinis, matanya menyusuri tubuh Marisa yang dibalut blus putih.

Kamu tidak mungkin mampu memahami cara berpikirku yang…

Ya, cara berpikir orang yang tidak waras, hitler sekalipun tidak akan mampu, potong Marisa cepat.

Marisa tertunduk, memegang kepalanya yang terbalut jilbab dengan kedua tangan. Koq bisa aku terdampar disini, dengus gadis itu, mengutuki nasibnya.

Hahahaha… gilaaaaa…
Gadis itu tertawa, lebih tepatnya menertawakan semua yang telah terjadi pada dirinya, tapi hadirnya Nade cukup membuatnya terhibur. Seorang pemuda dengan prinsip hidup yang tidak banyak bisa dimengerti oleh orang lain.

Kamu udah nerapin doktrin mu ini ke siapa aja?.. ngga pengen bikin seminar atau semacamnya?.. hahahaha… Marisa tertawa tergelak.

Sialan… yang ada aku malah ditimpukin orang..

Naahhh itu sadar kalo pemikiran mu ga bener,

Untuk pertama kali nya Marisa menyaksikan wajah Nade cemberut mendengar komentarnya, tapi sesaat kemudia ikut tertawa. Menertawakan ulah Marisa yang berhasil men-skak matt prinsipnya.

Maaf ya mba, berisik banget ya aku tadi, ucap Intan yang tiba-tiba sudah berdiri didepan mereka, meminum Aqua botol yang masih tersisa setengah. Tangannya menyeka keringat yang membasahi wajah dan lehernya.

Gapapa, santai aja De… jawab Marisa berusaha untuk tidak canggung dengan apa yang terjadi didepannya. Matanya menangamati tubuh Intan yang tampak kelelahan setelah pertempurannya tadi.

Ehhh.. aku mengganggu kalian ya?.. tanya Intan yang merasa terus diperhatikan oleh Marisa.

Ngga kok.. nggaaa.. kita lagi ngobrol aja koq, elak Marisa cepat.

Dia ini bingung liat kamu yang cuek kentu sembarangan didepan umum, sambung Nade.

Ihhh.. apaan sih, gapapa koq, santai aja.. atau kamu mau ikut gabung? goda Marisa sambil mencolek pinggang Nade.

Kalo Bang Nade udah bosen mba sama punya ku.. kecuali kalo kepepet baru dia minta, ga liat tempat, ga liat waktu langsung main coblos, papar Intan, tangannya mengambil sebatang U-mild lalu menyalakan perlahan.

Jadi.. kalian juga udah…..? Marisa terdengar ragu untuk bertanya.

Lhaaa perawan ku aja dia yang ngambil duluan, kalo masalah sering jangan ditanya lagi, bibir Intan mencibir kearah Nade yang ikut tertawa mendengar gadis itu.

Kalo mba Marisa, udah pernah kentu juga kan? tanya Intan blak-blakan, membuat wajah Marisa memerah, bingung untuk menjawab apa.

Bu Marisa ini dosen yang selalu menjaga dirinya dengan baik, tanya aja, nenennya aja pasti belum pernah ada yang megang, tembak Nade.

Eehhh.. enak aja kalo ituu.. akuu.. Marisa keceplosan akibat pancingan Nade. Apaan sih… tangan lentiknya mencubit pinggang Nade.

Hiihihi… enak lho mba, nikmat banget, apalagi kalo mainnya sama bang Nade, jago bener bikin melayang, apalagi ukuran itunya, dijamin lah pokoknya, Intan terdengar seperti mempromosikan pemuda yang diakui telah menyetubuhinya untuk yang pertama kali.

Apaan sih ni anak.. sana gih.. ganggu orang pacaran aja.. usir Nade.

Pacaran!… kalimat itu terdengar sangat ganjil ditelinga Marisa, namun matanya tanpa sadar tengah memperhatikan sosok pemuda disampingnya.

Umurmu berapa sih? tanya Marisa penasaran, setelah Intan beranjak kembali ke dipan dan merebahkan tubuhnya diantara dua pemuda yang beberapa saat lalu menikmati tubuhnya.

Nade menoleh sambil menahan tawa. Ngapain nanya umur?

Gapapa sih…

Kita semuran koq, jawab Nade, mungkin tua aku enam bulan, kan ada di NIP dosen mu, lanjutnya.

Ehh.. iya lupa, kamu kan mahasiswa abadi, Marisa menepok jidatnya, seolah sengaja meledek Nade.

Mulai lagi daahh.. mending tidur gih..

Ga berani sendirian dikamar, aku takut kepikiran masalah ku lagi..

Suasana kembali hening, Nade kembali asik dengan gitarnya, memainkan lagu balada Iwan fals, Bung Hatta. Sementara Marisa merasakan matanya mulai terasa berat.

Nadee… jangan panggil aku ibu lagi, kita seumuran, ucap Marisa seraya beringsut memeluk kedua kakinya lalu menyandarkan kepalanya kepundak Nade.

Baginya pemuda disampingnya cukup memberikan rasa aman, meski memiliki prinsip hidup yang baginya menyimpang. Tapi setidak nya pemuda itu tidak pernah mencoba untuk merayu atau berbuat nakal atas tubuhnya, bahkan terkesan cuek.

Marisa menatap langit yang benderang oleh rembulan.
Waktu kecil aku paling suka memandang bintang, bareng Mba Nirma, aku suka melukis langit dengan menyatukan bintang-bintang, kadang aku melukis wajahku, aku suka cahayanya, seolah begitu nyata,

Hebat juga imaji mu dalam menggabungkan bintang-bintang yang berantakan, goda Nade, ikut menatap langit.

Hehehehe.. Mba Nirma aja ga bisa, apalagi kamu.. balas Marisa.

Cobalah untuk memaafkan kakakmu, bila kamu terus seperti ini maka kamu lah yang egois, ingatlah kesendiriannya disana, bagaimana perjuangan kekasihmu yang terus bertahan untuk tetap setia meski setiap hari bertemu dengan kakakmu yang ku yakin tidak kalah cantik dari dirimu, ucap Nade pelan, seolah takut menyinggung perasaan gadis itu.

Tapi Marisa hanya diam, hati kecilnya sebagian membenarkan apa yang diucapkan oleh Nade. Tapi hatinya masih terlalu sakit.

Tanpa sadar mata Marisa terpejam, tubuhnya memang terasa sangat lelah. Ditambah petikan lembut gitar Nade seakan memanjakan telinganya untuk menghantar dalam lelap.

* * *

Suara gemericik air yang dibiarkan meluber dari tempayan, membangunkan Marisa, sempat kaget saat mendapati dirinya tertidur sendiri dibangku panjang dengan berbalut selimut.

Dirinya masih ingat saat menyandarkan kepalanya kepundak Nade, namun entah kemana pemuda itu sekarang berada. Pundak tangannya mengusap mata untuk memperjelas penglihatan saat bangun dari lelap.

Sinar mentari menorobos dari langit-langit yang terbuka. Semangkok bubur ayam hangat tersedia diatas meja lengkap dengan teh yang masih mengepul panas.

Bibir Marisa tersenyum, pastilah Intan yang menyediakan ini semua, pikirnya. Dirinya kembali teringat akan pergumulan panas gadis itu tadi malam, yang membiarkan tubuhnya dinikmati oleh dua pemuda sekaligus.

Eehhh.. kalian.. Marisa terkejut saat menyadari bukan hanya dirinya yang ada diruangan itu. Kekagetan nya semakin bertambah ketika menyaksikan apa yaang tengah dilakukan oleh Nade dan Intan.

Tampak gadis itu tengah bersimpuh dihadapan Nade sambil memeberikan layanan pada penis yang mengacung keras.

Kaliaaan…

dia lagi ga tahan,mba.. hahahaha.. terang Intan lalu melanjutkan kembali aktifitasnya.

Tatapan Nade menyorot tajam pada Marisa, kedua tangannya mencengkram rambut Intan, seolah tengah mengendalikan servis yang diberikan oleh gadis itu.

Mbaa Marisa sih tidur nya ngablak gitu, bikin semua cowok disini jadi pada sange, Intan tampak seperti ngedumel, tapi bibirnya justru tertawa, layanan mulutnya sementara digantikan oleh jari-jari mungilnya.

Kekagetan Marisa seakan tak berhenti sampai disitu, tidak jauh dari Nade, dua pemuda yang tadi malam menggauli Intan pun tengah melakukan aktifitas yang serupa, hanya saja mereka melakukan dengan tangan masing-masing. Tatapan mata yang menyorot tajam penuh hasrat birahi seakan ingin menelanjangi tubuh Marisa.

Seketika Marisa membenahi bagian roknya yang terbuka, memamerkan bongkahan paha putih nan mulus, berujung pada kain merah yang tadi malam juga sempat dilihat oleh Nade.

Jantung Marisa berdetak kencang, untuk pertama kali dirinya menghadapi kenyataan dijadikan sebagai obyek fantasi seksual, tepat dihadapan nya langsung. Kakinya terasa tak bertenaga untuk beranjak.

Aku harus ngapain?… jerit hati Marisa, berkali-kali mengalihkan pandangannya, namun tetap saja dirinya merasa terpenjara oleh tatapan liar penuh nafsu.

Mbaaa… bantuin dooong biar cepat selesai, rengek Intan tiba-tiba.

Gilaaaaaa… Marisa mendengus kesal, lagi-lagi gadis itu mengutuki keberadaannya ditempat itu.

Tapi tatapan itu, sepasang mata Nade yang beradu pandang dengan matanya, menyorot tajam sekaligus menghiba untuk sebuah pertolongan.

gilaaaa… aku pasti benar-benar sudah gila, rutuk hati Marisa yang sempat terpikir untuk bertindak negatif. aku ini seorang dosen, aku memiliki kehidupan yang sempurna, aku selalu mampu mengenyampingkan godaan seksual, meski itu oleh Mas Irwan.. ya Mas Irwan… Agghhh… tega kamu maass.. hati gadis itu menjerit, labil.

Matanya tertuju batang kejantanan Nade yang terus berkontraksi dimulut mungil Intan. Sesekali desahan keluar dari bibir si pemuda ketika Intan memberikan hisapan panjang.

Batang Nade terlalu panjang untuk mulut mungil Intan, lalu bagaimana jadinya bila batang itu masuk kedalam kemaluan Intan, atau mungkin kemaluan ku..uggghh.. gilaaaa… kenapa aku malah mikir ginii…

Marisa menunduk menutup kedua wajahnya dengan tangan. gilaaa… gilaaa…umpat nya

Mbaaa… liat lagi dooong.. plissss..

Marisa mengangkat wajahnya, menatap Firman yang menghiba untuk sebuah tontonan dari selangkangnnya. Begitupun saat matanya beradu pandang dengan Yuda, meski tak terucap namun pemuda itu mengharapkan hal yang sama.

Kenapa takut Marisa, bukankah itu hanya seonggok daging yang mampu membuat para lelaki bahagia, apa yang kamu takutkan dengan memberikan sedikit tontonan dinding hati Marisa digedor oleh bisikan labil yang menggoyahkan prinsipnya. Kamu menang Nadeee.. kamu menaaang.

Marisa membuang wajahnya kesamping, matanya terpejam seirig jemari lentik yang perlahan menarik bagian roknya, memberikan sedikit tontonan pada ketiga pemuda yang tengah mengejar hasrat fantasi atas dirinya.

Ooohhh.. Mba Marisa…

Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori yang halus, Apa yang tengah mereka pikirkan tentang diriku, apakah mereka berhayal tengah mengegesek-gesekkan kemaluan mereka diselangkangan ku, atau kah mungkin sedang berhayal memasukkan batang kemaluan mereka ke vaginaku,

Tubuh Marisa bergetar oleh pikirannya sendiri, matanya perlahan menatap pemuda yang tadi memanggil namanya. Menyaksikan langsung bagaimana pemuda itu memegangi penisnya dengan kuat, bergerak cepat memberi rangsangan pada batang dengan kepala kemaluan yang mengkilat.

Tanpa sadar kaki Marisa bergerak membuka, semakin jelas memamerkan sepasang paha mulus yang ditengahi oleh kain segitiga yang tipis.

Mbaaaa.. rengek pemuda lainnya, bergerak mendekati tubuh Marisa yang duduk bersandar, sambil terus melakukan gerakan tangan yang semakin cepat pada batang penis. Kepala gadis itu menggeleng, memberi peringatan agar pemuda itu jangan bergerak lebih dekat.

Sementara suara labil terus membisiki telinga Marisa. Nikmatilah sensasi yang kau rasakan, lihatlah bagaimana mereka mengemis akan tubuh indah mu yang selama ini tersembunyi rapat dibalik kain, lihatlah bagaimana mereka berimajinasi menyetubuhimu dalam hasrat yang tercekat,

Mbaaaa.. owwhhh… oowwhhsss…

Marisa terkejut saat pemuda itu mengejang, menghambur cairan kental yang hampir mengenanai kakinya. Hampir beriringan dengan pemuda dibelakangnya.

Lalu bagaimana dengan Nade, tatapan Marisa kembali pada pemuda yang tadi malam menyetubuhinya dengan doktrin yang gila.

Nadeeee… ucap Marisa pelan saat melihat pemuda itu telah berganti posisi, menyetubuhi Intan yang menungging diatas dipan. Ada raut cemburu diwajah Nade yang sinis.

Ada gairah ganjil dari tatapan Nade, kedua tangannya erat mencengkram pinggul Intan yang pasrah menerima setiap hentakan penuh tenaga dari si pejantan yang semakin menggila.

Berbeda dengan wajah Intan yang memucat menikmati birahi, yang kemudian melenguh panjang seiring hentakan keras batang Nade yang menghantar bermili-mili sperma kerahim si gadis.

Oooowwhhh.. Baaaaang Nadeeee.. tekaaan yang dalaaaam Baaaang.. Aagghhh… Intan mengerang menyodorkan pantatnya yang membulat, wajahnya tersenyum pucat kearah Marisa yang ikut tersengal menahan birahi.

Nade mencabut batangnya yang mengkilat oleh lendir, seakan memamerkan kepada sang perawan yang menatap sendu pada kemaluannya. Namun sesaat kemudian gadis itu tersadar dan merapaikan pakaian nya dengan cepat.

Dibawah tatapan sinis Nade, Marisa melangkah keluar rumah, wajahnya terasa sangat panas, keringat membasahi sebagai tubuhnya.

Dinginnya hawa dari rumah yang terletak di kaki gunung merapi, cukup membantu Marisa mengenyahkan gejolak didada. Gilaaaa… umpatnya, setelah menyadari semua yang telah terjadi, begitu mudah dirinya terbawa dalam permainan Nade. Tangannya mengibas-ngibaskan ujung jilbab untuk mendinginkan suhu tubuhnya.

Hebaat…

Ucap suara bariton dibelakangnya, pujian yang justru terdengar tengah menghujat dirinya.

Kenapa?… Marisa berpaling, tak senang dengan apa yang didengarnya.

Tapi Nade justru tertawa melecehkan.
Bukan kah ini hanya seonggok daging seperti yang kau bilang tadi malam, apa salahnya bila aku sedikit memamerkan kepada teman-temanmu.

Lalu kemana larinya prinsip yang kamu agungkan tadi malam? Prinsip dari seorang dosen yang terhormat.

Marisa tertawa saat menyaksikan kekalahan Nade yang tak mampu menyembunyikan rasa cemburu. Gadis itu enggan untuk terus menanggapi kegalauan hati Nade, kecemburuan Nade cukup untuk membuat hatinya gembira.

Marisa seakan tak peduli dengan ocehan Nade, kembali menikmati sapuan awan yang menutupi puncak gunung merapi yang beberapa tahun lalu dengan digdaya memuntahkan pijar api dari dalam perutnya.

Gadis seperti mu tidak akan mampu mengikuti permainan kami, jadi tetaplah menjadi gadis yang baik.

Jantung Marisa kembali berdetak kencang, suara itu terdengar sangat dekat dengan telinganya. Dalam hitungan detik tubuhnya merasakan sebuah jamahan tangan kekar, memeluk tubuhnya erat seakan ingin memiliki.

Hatinya sempat terhanyut dalam kehangatan, namun egonya cepat menyadarkan, tak ingin begitu saja ditaklukkan oleh Nade.

Nade… Lepas… kamu tidak berhak mengatakan itu, apapun yang kulakukan itu adalah keinginanku, dan aku tidak peduli dengan permainan mu yang kekanak-kanakan,

Semua terucap dengan mudah dari bibir Marisa, ego seorang gadis berbalut keangkuhan atas kemenangannya mempermainkan hati Nade. Namun hati kecilnya menyesali atas semua yang terucap, begitupun saat pemuda itu melepaskan pelukannya, hatinya yang sempat hangat kembali terjerembab dalam beku.

Maaf.. aku harus balik ke kos ku, Marisa membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan Nade yang masih berdiri mematung.

Tatapan tajam mata Nade seakan ingin menyelam jauh kedalam hati Marisa. Namun kemudian turun menuju dadanya yang tertutup oleh jilbab.

Eeehhh.. Marisa terkaget saat tangan Nade menyibak ujung jilbab yang menutupi dadanya. Namun tangannya terasa dingin tak mampu bergerak. Hingga dirasakannya sebuah remasan lembut pada payudara nya.

Nadeeee… Marisa menggelengkan kepalanya seiring bibir Nade yang berlabuh di bibirnya, memberikan lumatan yang lembut, lidah yang basah menyeruak menyapa bibirnya, mengajak untuk menari.

Ooowwhhh… Ooowwwhhh… Nadeee… suara Marisa tercekat dalam lumatan yang panjang, telapak tangan yang dingin telah berhasil menyapa kulit payudaranya, menjelajah mencari putig kecil yang mulai mengeras, lalu memberikan cubitan yang membuat tubuhnya tersentak, tubuh nya mengejang, mengejan seiring cairan deras mengalir dari selangkangannya.

Aaaahhh… Nadeeee… Aaaahhsssss… tubuh mulus nya terus mengejang, mencengkram tangan Nade berharap pemuda itu menghentikan aksinya.

Tubuhku kenapaaaaa? Iniiii… Aaahhhh… iniii… Hati Marisa panik, menyadari selangkangannya yang sangat basah akibat pipis yang tak mampu dicegahnya.

Plaaaaakkk…
Cukup Nadeeee!….
Tamparan cukup keras menghentikan aksi pemuda itu.

Mata itu, begitu dingin… namun mendamaikan.. bukan sekedar mengejar hasrat atas tubuhku, bukaaan… namun lebih ingin memiliki diriku.

Seketika Marisa menyesali perbuatan yang dilakukannya sekedar untuk menutupi orgasme yang tak pernah dirasakan dalam status sebagai seorang perawan.

Maaf…. Maaaaff… aku harus balik ke kos ku, ucapnya berusaha lari dari situasi yang canggung, berusaha lari dari tatapan tajam mata Nade.

Baru saja hati Marisa kembang kempis oleh rasa bahagia, tiba-tiba tatapan itu berubah seolah mempermainkan dirinya.

Nikmat ga tadi kencingnya?..

Sialan kamu, De… Marisa memukul pundak Nade, lalu beranjak untuk masuk kedalam rumah. Lihat saja bagaimana aku bermain dengan permainan mu, sambung Marisa sambil memeletkan lidahnya.

Namun langkahnya terhenti oleh tangan Nade yang memegang lengannya.

lihat saja bagaimana aku akan menjadi kuas, dan menari memberikan coretan pada malam mu yang kelam

Hahahaha… Nadee… itu tidak mungkin, jawab Marisa, kamu tidak akan mampu menjadi kuas untuk hidupku, guratan mun terlalu liar untuk hidupku balas Marisa, lalu melangkah masuk kedalam rumah,

Entah apa yang dimaksud oleh Nade, apakah sekedar ingin bermain dengan hatinya yang tengah rancu, ataukah memang tengah melamar hatinya. Namun sekali lagi hatinya merasakan kehampaan, penolakannya atas niat Nade menjadi luka tersendiri atas permainan hati yang begitu singkat mereka rasakan. Tidak mudah bagi Marisa untuk melupakan dan meninggalkan Mas Irwan meski dengan segala kesalahan yang telah diperbuatnya.

* * *

Marisa berdiri didepan kosnya, roknya yang robek telah berganti dengan celana pensil dari bahan kain yang lembut milik Intan.
Sekali lagi matanya menyaksikan sebuah mobil yang kemarin dilihatnya terparkir didepan rumahnya.

Benarlah dugaannya, didalam sudah menunggu Mas Irwan dan Mba Nirma.

Marisaaa.. Nirma menghambur memeluk tubuhnya, Maafkan Mba, maafkaan.. hikss… Nirma menangis menghiba memeluk tubuh Marisa.

Marisa memang tidak pernah mampu untuk marah kepada Nirma, kakak kandung yang seakan menjadi pengganti seorang sekaligus ibu bagi dirinya. Yang mengorbankan masa lajangnya untuk membiayai hidup dan kuliahnya.

Begitupun dengan Mas Irwan, lelaki yang sepengetahuan Marisa sangat setia pada dirinya, bersedia menunggunya selama lima tahun untuk menyelesaikan kuliah. Begitupun dengan materi yang tidak terhitung yang telah diberikan Mas Irwan dalam membantu perkuliahannya. Walau bagaimanapun dirinya masih mencintai lelaki itu.

Aku sudah memaafkan mba Nirma dan Mas Irwan koq, ngga apa-apa mba.. gadis itu balas memeluk Nirma. Namun tangis Nirma tak jua berhenti, malah semakin erat memeluknya.

Mbaaa.. biarlah yang terjadi menjadi teguran buat kita. Kita masih bisa memperbaiki ini semua.

Bukan Cuma itu Deee… aku hamil.. hamil anak Mas Irwan, ucap Nirma disertai tangis yang kembali pecah.

Kepala Marisa bagaikan dihantam godam, semua jalan untuk memperbaiki hubungannya dengan Irwan seakan telah tertutup. Seketika dirinya sangat membenci lelaki itu. Marisa menggigit bibirnya untuk mengalihkan pedih yang dirasakan hatinya.

Namun dirinya tetaplah seorang anak manusia dengan emosi yang labil, tanpa diduga dirinya menghampiri Irwan yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari mereka.

Plaaaak…
Plaaaak…
Tegaaaa kamu Massss… tegaaaaa…
Gadis itu mengamuk sambil melayangkan tangan kewajah Irwan berkali-kali. Sementara lelaki yang menjadi objek pelampiasan emosinya hanya terdiam, tidak juga mengelak, pasrah membiarkan pipinya memerah menerima hantaman telapak tangan Marisa yang penuh emosi. Hingga akhirnya gadis itu terjatuh, terduduk tak berdaya, menangis tak tertahan.

* * *

Entah pikiran apa yang membuat Marisa kembali melangkahkan kaki kembali kerumah Nade. Sepanjang hari itu dirinya lebih banyak diam, sesekali air matanya kembali terjatuh.

Hinga kelamnya malam kembali menyapa, sementara gadis itu membiarkan dirinya berada dipelataran rumah dipeluk oleh dingin yang menusuk hingga ketulang.

Mbaaa.. masuk kedalam yuk, ajak Intan, yang tanpa persetujuan langsung memapah gadis itu untuk masuk.

Dari sini pun kamu masih bisa melukis malam, banyak bintangnya juga koq, goda Nade, membuat Marisa memalingkan wajahnya untuk menatap pemuda yang tampak baru tiba dari luar.

Makasih yaa.. ucap Marisa pelan, berusaha tersenyum atas kebaikan Intan.

Sayup-sayup terdengar rayuan Yuda yang merengek mengajak Intan untuk bercinta.

Kamu kenapa sih, tiap liat Mba Marisa bawaannya langsung sange gitu, tolak Intan, namun tetap membiarkan tangan Yuda meremasi kedua payudaranya.

Habisnya cantik banget… apalagi pake celana ketat kayagitu, seksinya keliatan banget, ugghhh.. ga kuat akuu, ungkap Yuda yang setengah memaksa untuk masuk kedalam baju Intan.

Marisa tertawa mendengar obrolan itu. Dik Intan.. temenin ngobrol dong.. panggil nya tanpa menoleh.

Eehhh iya mba, jawab Intan yang segera menepis tangan Yuda. Lalu duduk disamping Marisa.

Kamu ini temannya Nade atau adiknya sih? tanya Marisa yang pensaran dengan status gadis itu, karena melihat photo di dinding seorang anak laki-laki menggandeng gadis kecil.

Bukan mba.. aku ini apa yaa.. bisa dibilang pembantu nya Bang Nade sih,

Pembantu?..

Iya mba, kuliah ku dibiayai Bang Nade, timbal baliknya ya aku ikut bantu-bantu Bang Nade ngeberesin rumah, nyiapin makan dan lainnya lah, walau Bang Nade ga minta langsung tapi aku tau diri lah.. beber Intan yang mulai menunjukkan sifat ceriwisnya.

Memangnya Nade punya usaha apa sampai bisa membiayai kamu kuliah?

Bang Nade kan sebenarnya tajir, mba.. punya ekspedisi pengiriman barang, terus punya usaha sarang burung walet juga.

Celotehan Intan kali ini benar-benar membuat Marisa kaget, seorang Nade yang biasa mengenakan jeans buluk dan kaos asal-asalan, ternyata memiliki usaha yang tidak bisa dianggap remeh.

terus yang ngejalanin tu usaha siapa?

Tuh.. si Yuda sama Firman,

Pantas lah pemuda itu mengenakan seragam berlambang sebuah ekspedisi, meski tidak familiar ditelinga, namun Marisa pernah menggunakan jasa ekspedisi itu.

Bang Nade kan emang gitu mba, suka keluyuran ga jelas, ngamen lah, jalan-jalan ga jelas lah, tapi otaknya encer, saking encer nya dia sampai ga mau menyelesaikan kuliahnya lhoo.. hahahaha… yang pasti Bang Nade itu pintar lah melihat peluang usaha.

Apaan sih, ngoceh aja dari tadi, celetuk Nade tiba-tiba, tidak suka dengan obrolan yang mengungkap jati dirinya.

Hahahaha.. tapi benerkan? Liat aja tuh pasti mau ngelonin gitar buluk lagi.. hahaha

Marisa ikut tertawa mencengar celoteh Intan.

Kalo kamu kuliah Dimana?

Institut seni mba, ngambil jurusan seni tari

Woow.. pantas badan Intan bagus gini,

Mba bisa aja, masih kalah koq sama Mba Marisa, apalagi nenennya, sempurna banget dimata cowok-cowok.. hihihi..

Apaan sih, punya mu juga gede koq, Marisa reflek berusaha menutupi payudaranya dengan lengan, tapi gerakan itu justru membuat payudaranya yang tertutup blus hitam semakin mencuat, membuat Yuda yang asik memperhatikan obrolan mereka semakin kagum akan pesona Marisa.

Serius lho mba, kalo nenen Mba Marisa itu proporsional lah sama bentuk badan dan pinggul, coba jadi penari pasti mantap banget deh mba,

Marisa hanya tertawa mendengar pujian Intan.

Bang Nade aja waktu ngentotin aku tadi pagi sampai berkali-kali lho muji Mba Marisa, lanjut Intan, kali ini dengan gaya berbisik tapi suaranya tetap kencang hingga terdengar oleh Yuda dan Firman.

Eeehh.. Intan ngapain? Marisa terkejut dengan gerakan Intan yang tiba-tiba meremas payudaranya.

Cuma pengen mastiin koq mba, ini bukan spon, jawab Intan cuek, seakan tak peduli dengan protes Marisa. Bang Yudaa… beneran lho ngga pake bra spon, teriak Intan tiba-tiba, mengagetkan Marisa yang segera menepis tangan Intan.

Hihihi… malu ya mba?.. goda Intan.

Marisa tersipu, sudut matanya sempat menangkap tatapan Nade yang menunjukkan kekaguman atas payudara yang tadi sempat dipegang oleh Intan.

Dia kan beda prinsip ama kita-kita, cibir Nade sekaligus memberi tantangan kepada Marisa.

Terimakasih… sudah mengisi sepi ku, mengibur hatiku yang kelam, bisik hati Marisa.

Gadis itu memeletkan lidahnya ke Nade. Seolah tak peduli dengan pancingan yang dilontarkan cowok itu untuk mengulangi kegilaanya tadi pagi.

Tapi tiba-tiba terbersit diotak Marisa untuk menggoda Nade, untuk melihat seberapa peduli cowok itu terhadap dirinya. Marisa ingin kembali melihat wajah cemburu yang dipamerkan cowok itu.

Punya ku asli Koq Yud… kalo ga percaya cek aja langsung isinya, tawar Marisa, tawaran yang membuat Yuda sangat kaget, begitupun dengan Nade, namun berusaha acuh dengan memainkan gitar.

Nahh lhoo.. Bang Yudaaa.. cepet Bang.. sebelum tawaran ditarik lagi lhoo.. teriak Intan yang entah kenapa terlihat girang.

Tunggu.. tungguuuu… seru Marisa yang panik melihat Yuda yang segera meloncat duduk disampingnya. Meski payudara itu pernah beberapa kali disentuh langsung oleh tanga Irwan. Ditambah peristiwa tadi pagi, saat Nade berhasil membuatnya terkencing-kencing hanya dengan cubitan kecil dipayudaranya, namun kali ini jelas berbeda.

Marisa memejamkan matanya dengan rapat tak berani melihat beberapa pasang mata yang menunggu suguhan, wajahnya mengernyit menahan malu. Gerakan jari Yuda yang menyibak jilbab dan perlahan melolosi kancingnya membuat jantung Marisa berdetak tak beraturan.

Eeemmpphh… gadis itu terpekik, saat sebuah telapak tangan menyentuh kulit payudara yang tidak tertutup oleh bra. Suaranya tercekat diantara mulut yang terkatup. Matanya semakin tertutup rapat seiring sentuhan yang berubah menjadi remasan.

Eeemmmpphh cukuuup yuuud… cegah Marisa dengan suara bergetar saat pemuda itu berusaha memasukkan jari-jari kedalam lipatan bra.

Uuummpphh… udaaaahhh… Marisa terpaksa membuka matanya, dan menyaksikan bagaimana jari-jari Yuda berhasil mencapai puting yang telah mengeras.

Suara Marisa semakin terengah, matanya menangkap tatapan cemburu Nade yang secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka atas apa yang dilakukannya.

Marisa mencengkram kuat tangan Yuda, namun tidak juga berusaha untuk menepis.

Nadeeeee… bukankah ini hanya seonggok daging yang bebas dipandang atau dipegang siapapun, jerit hati Marisa yang merasa puas akan kecemburuan diwajah Nade.

Ooowwwhhh… Firmaaaan,
Marisa terkejut ketika menyadari ada telapak tangan lain dari arah belakang yang ikut meremas payudaranya.

Braaaakk…
Tiba-tiba Nade melempar gitarnya. Membuat semua yang ada disana terkejut. Begitupun dengan Marisa yang segera menutup bajunya.

Okeeee… kamu menang, suara Nade meninggi. Berjalan mendekati Marisa. Yuda, Firman dan Intan segera beringsut menjauh.

Aku tak lagi peduli dengan prinsipku, masa bodoh dengan semua yang kuyakini saat ini, aku mencintai mu, dan aku tak mampu membiarkan seonggok daging ini dijamah oleh tangan selain tangan ku,

Marisa tersenyum dengan mata berkaca-kaca, lalu bagaimana bila aku ingin terus bermain dalam permainan mu…

Aku.. aku mencintaimu… ucap Nade tertahan, duduk disamping Marisa, lalu melabuhkan ciuman yang hangat yang tak lama menjadi semakin menggebu. Tangannya menjamah seluruh tubh Marisa, meremas bongkahan pantat yang padat berisi, meremas payudara yang kembali terpampang liar, menjamah liang mungil sang perawan yang membuat sang pemiliknya terkejut, meregang hasrat tertahan dalam gelinjang yang penuh birahi.

Nadeee… tunggu… apa ini tidak terlalu berlebihan? cegah Marisa saat Nade berusaha melolosi pakaiannya, tangan lentiknya menahan gerakan Nade yang berusaha menarik turun celananya.

Yaa.. memang berlebihan, bila kamu tak mampu menerima hadirku dihati mu,

Tapi ini terlalu cepat, akuuu…

Nikmati lah, saat imaji liar ku menyatu dengan imaji mu yang penuh dengan logika, bisik Nade tepat ditelinga Marisa. Mengajak gadis itu untuk berdiri.

Marisa menatap pasrah pada Nade yang perlahan menarik turun kain celana yang lembut. Sesekali matanya terpejam, tak berani berpaling untuk melihat reaksi dari Yuda dan Firman.

Oooowwwwhhsss… Nadeeeee… apaaaa… apaaa yang kamu lakukan, jooorookk… Aahhss.. tuubuh Marisa bergetar saat wajah Nade menghilang diselangkangannya.

Firman yang sebelumnya berada dibelakang bergerak mendekati Intan, mengikuti percumbuan didepan mereka.

Eeeehh… Yudaaaaa… Kamuuu… kamuuu.. Marisa terkejut saat merasakan sebuah jamahan lembut dari belakang merengkuh kedua payudaranya.

Nade yang sesaat mengangkat wajahnya hanya tersenyum, lalu bangkit dan kembali memberikan lumatan yang panas dibibir Marisa.

Nadeeee… Iniii…aaahhh… Marisa berusaha menepis tangan Yuda yang turut menjamah tubuhnya.

Kenapa sayang, apa kamu malu? atau takut? Tenanglah, Yuda tau sejauh mana batasan untuknya, bisik Nade coba menenangkan Marisa.

Jantung Marisa berpacu, seiring usaha Yuda melolosi baju dan bra yang menutupi tubuhnya.

Sempurnaaa.. kecantikan dan keindahan bisik Yuda dari belakang, perlahan mengusap pipi Marisa, membuat gadis itu menoleh kesamping yang langsung disambut oleh kecupan bibir Yuda.

Kembali Marisa dibuat panik, bukan seperti ini seharusnya hubungan sepasang kekasih, membiarkan tubuhnya dijamah oleh orang lain.

Nadeeee… kepala Marisa menggeleng, suaranya tercekat, jangan disini, pinta nya memelas berharap Nade membawanya ketempat yang lebih sepi.

Eeempphhh… Yudaaaa… cukuuuup.. Aaaghhhh… tubuh nya gemetar saat merasakan sebatang penis yang mengeras menyelusup dicelah pantatnya yang telanjang.

Nikmati lah sayaaaang, bukankah ini yang kamu mau.. membuatku cemburu, bisik Nade dengan senyum yang lembut.

Akuuuu… aku ga bisaaaa… Marisa seakan ingin menangis menerima pelecehan yang dimulai oleh kenakalannya, namun ada gairah yang memercik seakan enggan mengakhiri.

Menyerah?… tanya Nade sambil tersenyum.

Dengan cepat Marisa mengangguk namun kemudian kembali terpekik, pantatnya merasakan sapuan lidah yang basah, mencoba merangsek kecelah selangkangannya. Nadeeee… akkuuuu.. akuuu…

Meski menolak, namun tubuhnya berkata lain, pantatnya semakin menungging, Mata Marisa terpejam saat lidah Yuda memberikan sapuan panjang dari celah vagina hingga keliang anus. Usapan panjang yang terus berlaku, hingga membuat tubuhnya semakin menggeliat.

Aaaaggghhhh…. Aaahhhhh… Ampuuuunn.. cukup… tangan Marisa mencengkram tubuh Nade yang kini melumat payudaranya. Seolah mencari tumpuan saat lidah Yuda mencoba menyulusup keliang anus nya.

Aaaagghhh… Akuuuu… Aahhhhhsss…. sekali lagi Marisa merasakan puncak orgasme dalam hidupnya. Vaginanya memancarkan air seni yang mengucur deras, seiring tubuhnya yang mengejat liar.

Cukup Yud.. ucap Nade denga suara tegas, lalu membopong tubuh Marisa kedalam kamar.

Masih ingin menjadikan diriku kuas untuk membuat guratan takdir disepanjang hidup mu? tanya Nade yang mendudukkan Marisa dipinggir kasur, Sementara dirinya bersimpuh dihadapan gadis itu seolah memohon.

Marisa tersenyum, Apa kamu sanggup menghadapi betapa egoisnya diriku? ucap Marisa balik bertanya.

Nade tertawa. Menatap wajah Marisa yang terlihat semakin cantik dimatanya.

Perlahan Marisa merebahkan tubuhnya, diiringi Nade yang perlahan menaiki tubuh telanjang di gadis.

Tapi aku tidak mau seperti tadi, cukup kamu saja, rengek Marisa yang membuka kedua kakinya memberi celah kepada Nade untuk menuntaskan hasrat mereka.

Aku berjanji tidak akan terjadi lagi, karena ternyata hatiku pun tak sanggup menyaksikan tubuh indahmu dijamah oleh lelaki lain, ucap nade seiring batang yang menyapa bibir kemaluan sang perawan.

Eeemmpphhhh… pelaaaan.. Marisa menyembunyikan wajahnya kedada Nade, memeluk pemuda yang tengah berusaha merenggut mahkota yang sangat dibaggakannya.

Oowwwhhhh… periihh.. saaaayaaang, rengek Marisa manja, kukunya mencengkram kuat tubuh Nade. Namun tak ingin menghentikan usaha si penjantan yang telah berhasil mengoyak selaput tipis, lalu memberikan hentakan lembut yang perlahan membuat Marisa mendesah.

Nadeeee… panggil Marisa sambil menatap kearah pintu yang terbuka, menampilkan sosok Yuda dan Firman yang mencoba menyaksikan persetubuhan pertama sang perawan.

kamu ingin aku menyuruh mereka keluar? tanya Nade, menghentikan gerakannya.

Marisa tertawa malu, lalu kembali membenamkan tubuhnya ketubuh Nade. Telapak tangan yang lembut mencengkram pinggul Nade, seakan memberi perintah untuk melanjutkan persetubuhan.

Marisaaa… benarkah ini yang kamu mau sayang? bisik Nade terengah-engah oleh usahanya memuaskan si betina. Memberi ciuman yang panas. Dibawha tatapan birahi Yudan dan Firman yang kini telah duduk disamping ranjang.

Nadeeee… akuuuu… Marisa menutup wajahnya. Seiring jamahan lelaki lain pada tubuhnya.

Aaaaaagghhhhh… aaagghhh… jangaaaan.. rintihan panjang keluar dari bibir si gadis saat merasakan kedua payudaranya dilumat oleh dua pemuda, sementara Nade semakin cepat menghujam liang vaginanya dengan ritme yang cepat.

Bu doseeen yang cantiiik.. kamu adalah milikku, lenguh Nade.

Marisa berusaha tersenyum membuat wajah penuh gairah itu semakin cantik, mengagguk lemah sambil terengah-engah, Yaaa.. milik mu, jawab nya seiring bibir tipisnya menyambut bibir Yuda yang berlabuh.

Ooowwwwhhhh…. akuuuu… akuuu… Marisa mendorong yuda, lalu menarik Nade agar kembali menindih tubuh telanjangnya sepenuhnya.

Seakan mengerti dengan apa yang diingin, Nade semakin cepat menghentakkan pinggulnya. Hanyaa aku yang boleh menyiram benih diliang mungil ini.. aaaghhh… Nade menggeram, menghentak semakin cepat.

Aaahhhh… Nadeee… temani akuuu.. melukis malaaam…bersama merekaaaa…aaahhh..

Tidaaaak hanya akuuu… suara Nade meninggi, menghentak semakin keras saat menyaksikan tangan lentik Marisa perlahan menggenggam batang penis Yuda dan Firman.

Hiyaaaaa… hanya kamu sayaaang.. Ooohhh… gairah Marisa membuncah merasakan tiga batang penis yang berkedut panas.

Aaaghhhh… Aaaahhssss.. gadis itu mengejang, menggeliat liar dengan vagina yang berkedut menghantar cairan panas, seiring semburan tiga batang penis ditubuhnya.

Aku gilaaa… bisik Marisa sambil tertawa dalam pelukan Nade.

Tidak.. aku lah yang gila, balas Nade ikut tertawa, mengecup kening Marisa penuh rasa cinta.

The End Or ….,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

PutriBokep

Create Account



Log In Your Account